Hallo sedulur, kali bahas desa Linggoasri di kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. suatu sore yang suntuk akhirnya memunculkan ide mblusuk tipis tipis ke Linggoasri, bersama dengan teman saya dari rumah saya di daerah Wiradesa memakan waktu sekitar satu jam dengan menggunakan sepeda motor, kekuatan sedang yaa lurd. desa yang berjarak sekitar 30 kilometer dari jalan pantura atau sekitar 14 kilometer dari Kajen ini memiliki akses jalan yang baik, yaitu satu jalur dengan jalan menuju Dieng.
Oke,,singkat cerita sampailah di desa yang memiliki ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini. Linggoasri sendiri sangat akrab dengan telinga orang Pekalongan, sebagai tempat wisata selain itu terkenal dengan villanya yang adem, hehehe. desa yang lumayan sering saya kunjungi ini baru kepikiran untuk menelusuri kedalam perkampungannya. jadi menurut informasi yang saya dapat di desa ini tersimpan warisan leluhur berupa batu Lingga, berdasarkan teknologi GPS (Golek Pitakon System) saya bertanya kepada warga setempat dimana letak batu ini. setelah mendapat informasi meluncurlah saya kesana yang letaknya disamping jalan kampung, dari jalan Kajen-Kalibening maka beloklah ke aeah kiri jalan kecil di samping balai desa Linggoasri, lurus sampai bertemu pertigaan lalu belok kiri lagi, disamping sungai kecil akan nampak bangunan yang menaungi batu Lingga itu.
Nah itu penampakan situs watu Linggo-nya, memang berbentuk sederhana bahkan lebih mirip Lingga semu. Lingga sendiri memiliki pasangan berupa Yoni, yang bisa dijadikan sebagai alat pemujaan pada agama Hindu di masa lampau. bentuk Lingga umumnya berbentuk dibagian atas berbentuk segi empat disebut Brahma Bhaga, ditengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga dan dibagian paling bawah bernama Siwa Bhaga. ditambah Yoni sebagai Pranala yang melambangkan Shakti.
selain itu nampak sebuat batu yang sama berbalut kain kuning di dekat batu Lingga ini, entah ini Punden atau Prasasti saya nggak tahum ya karena berbalut kain kuning. oh ya saya mengutip dari website desa Linggoasri yang memberi ulasan sejarah penemuan pertama batu ini. jadi menurut web Linggoasri.sideka.id menerengkan :
"Diceritakan Ki Trunojoyo dan Ki Truno Wongso beliau adalah dua orang prajurit dari Mataram yang berpangkat Punggawa setelah mendapat perintah dari Sultan Agung Mataram untuk ikut bergabung dalam menyerbu Batavia beliau bersama anak buahnya berangkat ke Batavia dan bergabung dengan pasukan yang dipimpin Tumenggung Bahu Rekso (Adipati Kendal) yang pada saat itu Tumenggung Bahurekso mendapat amanat dari Sultan Agung Hanyokrokusumo untuk memimpin pasukan mataram menyerbu Batavia. Segala Bekal telah di persiapkan akhirnya berangkatlah pasukan tersebut.
Namun sebelum sampai ke Batavia pasukan belanda telah mengetahui segala persiapan bekal makanan / lumbung makanan pasukan Tumenggung Bahurekso, sehingga dengan liciknya belanda menyuruh antek-anteknya untuk membakar perbekalan lumpung makanan pasukan mataram. Dalam penyerbuan tersebut pasukan mataram mengalami kekalahan karena banyak pasukan yang kelaparan.
Setelah gagal mengusir belanda dari Batavia banyak prajurit mataram yangf tidak kembali ke kerajaan bahkan tumenggung Bahurekso sendiri tidak berani kembali ke Mataram karena setelah mendengar berita kegagalan pasukannya Sultan Mataram marah dan memutuskan untuk meghukum pasukannya.
Di ceritakan setelah Tumenggung Bahurekso mendengar keputusan hukuman dari Raja Mataram maka beliau memutuskan untuk melakukan tapa ngalong demi untuk menghindari kejaran belanda dan juga hukuman Raja maka tapa ngalong tersebut menjadi asal nama kota Pekalongan, sedangkan Ki Tunojoyo dan Ki Truno Wongso dan di ikuti teman-teman seangkatanya yaitu Ki Cipluk Taman Sari dan Ki Rantan Sari serta prajuritnya menyingkir dan naik ke pegunungan sebelah selatan kota Kajen (sekarang) pada saat itu masih berupa hutan belantara yang sangat lebat, tujuan mereka adalah menjauhi kejaran belanda dan juga untuk membuat tempat tinggal baru. Pada saat membuka hutan tersebut Ki Trunojoyo dan Ki Truno Wongso di hadang oleh seekor Harimau maka terjadilah pertarungan yang sengit antara Ki TrunoWongso dan harimau tersebut , dalam pertaruangan tersebut Ki Trunowongso dapat membunuh harimau, setelah harimau tersebut mati maka Ki Trunowongso diberi gelar/panggila oleh temen-temanya sebagai Ki Ageng Singo Menggolo ini diberikan karena beliau dapat mengalahkan seekor harimau/singa.
Kemudian Ki Trunojoyo beliau sangat giat dalam membuka hutan menjadi tempat bermukim diceritakan pada saat membuka hutan tersebut Ki Trunojoyo di kagetkan dengan ditemukannya sebuah situs atau benda yang berbentuk Lingga maka beliau berucap bahwa kelak di tempat ini akan saya beri nama Dusun Linggo dan hari berganti bulan bulan berganti tahun dusun tersebutpun menjadi sebuah desa yang bernama Desa Linggoasri, sedangkan Ki Trunojoyo atas segala perjuangannya untuk membuka hutan tersebut menjadi tempat tinggal/dusun maka beliau di beri julukan/gelar Ki Ageng Cokro Menggolo yang artinya orang yang berani membuka hutan menjadi tempat tinggal. Demikian sekilas cerita asal usul desa Linggoasri".
Setelah puas menikmati situs watu Linggo ini, saya pindah pengamatan saya kepada sebuah Pura di desa ini, hah Pura ? iya Pura. memang warga Linggoasri ini setengah populasinya memeluk agama Hindu. maka wajarlah situs Watu Linggo itu ditutup kain kuning sebagai sarana pemujaan.
Pura yang bernama Kalingga Satya Dharma ini memiliki desain arsitektur gabungan Bali dengan Jawa. jika biasanya Pura memiliki tiga halaman sebagi konsep TriMandala, Pura ini hanya memiliki dua halaman yaitu Halaman Dalam yang disebut Utama Mandala dan halaman tengah, Madya Mandala.
Utama Mandala
Madya Mandala
nampak juga bangunan khas Pura seperti Gapura Candi Bentar, Gerbang Paduraksa, Bale Kulkul, Merajan dan patung Penjaga, Dwarapala.
Setelah puas menikmati situs watu Linggo ini, saya pindah pengamatan saya kepada sebuah Pura di desa ini, hah Pura ? iya Pura. memang warga Linggoasri ini setengah populasinya memeluk agama Hindu. maka wajarlah situs Watu Linggo itu ditutup kain kuning sebagai sarana pemujaan.
Pura yang bernama Kalingga Satya Dharma ini memiliki desain arsitektur gabungan Bali dengan Jawa. jika biasanya Pura memiliki tiga halaman sebagi konsep TriMandala, Pura ini hanya memiliki dua halaman yaitu Halaman Dalam yang disebut Utama Mandala dan halaman tengah, Madya Mandala.
Utama Mandala
Madya Mandala
nampak juga bangunan khas Pura seperti Gapura Candi Bentar, Gerbang Paduraksa, Bale Kulkul, Merajan dan patung Penjaga, Dwarapala.
Komentar
Posting Komentar