Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2014

Gereja Katolik Santo Petrus

Sebelum tahun 1927, “Gereja Misi Kristus Raja di Purwokerto” termasuk Vikariat Apostolik Batavia ( Jakarta ) dan berada di bawah pelayanan Tarekat Yesuit. Pada tahun 1927 kawasan ini diserahkan oleh Tarekat Yesuit kepada Tarekat Misionaris Hati Kudus (MSC). Dalam rangka serah terima penguasaan daerah karya misi dari Jesuit kepada MSC, Romo B Thien MSC, yang bersama dengan Romo BJJ Visser MSC dan Romo De Lange MSC, mendapat   tugas membuka paroki Tegal.   Dalam tugas penggembalaanya, Rm De Lange juga menjangkau seluruh daerah karisidenan Pekalongan, termasuk wilayah Pekalongan itu sendiri. Meskipun jumlah umat sedikit dan dirasa kurang menarik untuk pengembangan misi, ada satu keluarga katolik yang bernama P Fischer yang memegang kas umat/ stasi Pekalongan. Pada tanggal 18 April 1928 dikeluarkan  surat  keputusan dari Gubenur Jendral tentang ijin perjalanan dinas pastor paroki   setahun 12 kali dengan biaya ditanggung pemerintah.   Dalam tugasnya Romo Thiens MSC diganti oleh Rm W

Sekilas mengenai Kelurahan Sampangan Kota Pekalongan

Profil Pemukiman Pekalongan Baru Kelompok penduduk Cina yang disebut Ma Huan pada abad XIV ketika singgah di Pekalongan itu adalah kampung Sampangan. Letaknya di dekat muara sungai Kupang atau sungai Loji. Karena di situ tempat tambatan sampan-sampan yang mengangkut barang dagangan keluar masuk pelabuhan. Kampung Sampangan sekarang juga disebut kampung Pecinan, karena sejak awal terjadinya pemukiman telah dihuni oleh komunitas masyarakat Cina. Di samping hunian komunitas Cina terdapat hunian masyarakat pribumi, Arab dan Keling. Akan tetapi tidak ada keterangan di mana kira-kira kelompok masyarakat di luar masyarakat Cina bermukim. Karena pembangunan pemukiman kota pantai di Asia Tenggara pada umumnya ada di muara sungai. Akan tetapi sulit untuk diketahui pola tata ruangnya. Sebagai pemukiman niaga kelompok pemukiman pantai pada abad XIV selalu menyertakan keberadaan pasar sebagai pusat ekonomi. Model pemukiman niaga pantai jawa yang merupakan awal dari kota-kota niaga dapat dic

Lapangan Bebekan

Siapa warga Pekalongan yang tak tahu tempat yang satu ini, terletak di desa Paesan Kecamatan Kedungwuni, Lapangan ini begitu akrab di benak warga terutama para muda mudi yang tengah mengalami masa pubertas. terlepas sebagai sarana taman kota, di Lapangan Bebekan ini juga terdapat beberapa sarana Olahraga, Warung Kuliner yang menyajikan aneka masakan khas Pekalongan, sarana Ibadah terlebih di kelilingi dengan beberapa sekolah. Berdasarkan informasi yang saya dapat pada dekade 80an kawasan ini masih berupa perkebunan tebu yang sepi layaknya tanah tak bertuan, baru pada tahun 1985 lah Pemerintah Daerah mulai mengembangkan kawasan ini sebagai sarana insfratuktur publik. terdapat beberapa sarana publik di kawasan ini, seperti Stadion, Sekolah dan Masjid.

Sekilas Mengenai Batik Buketan Pekalongan

                       Pada saat Batik Pekalongan memasuki pasar dengan konsumen orang-orang yang menggemari pola-pola buketan ( Belanda ), para pengusaha Tionghoa di Pekalongan mulai menerapkan ragam hias buketan bagi produknya sebagai salah satu pola Batik Cina yang mendapat pengaruh budaya Eropa ( Belanda ) setelah tahun 1910. Langkah para pengusaha Tionghoa yang terkenal jeli dalam membaca situasi pasar itu, memang cukup tepat. Penerapan ragam hias buketan itu mereka lakukan pada saat Batik Belanda yang berawal kurang lebih pada tahun 1840 dan dipelopori oleh Caroline Josephine Van Franquemont dan Catherina Carolina Van Oosterom, berada dalam puncak pemasarannya. Pada awalnya batik Belanda tidak menampilkan pola-pola buketan. Namun demikian, seiring   dengan adanya perkembangan polanya, maka batik Belanda pun menampilkan ragam hias buket – buket yang halus dan indah dengan warna-warna cerah serta serasi, bahkan sering dipadu dengan isen latar ragam hias tradisional keraton seper

Sekilas Batik Enchim Pekalongan

                              Periode tahun 1850-1860 kegiatan membatik di Pekalongan sudah ada. Motif batik Pekalongan pun mengalami metamorfosa, dipengaruhi oleh datangnya bangsa asing, yaitu China dan Belanda. Para pelaku batik tidak hanya kaum pribumi, tapi juga para pengusaha china dan para istri orang Belanda.  Pada masa itu kain batikpun kian dilirik, semakin meluas peminatnya, dan menjadi usaha yang menarik untuk diandalkan dalam perekonomian. Rentang periode sepuluh tahun (1850-1860) produksi batik terus berkembang di Pekalongan. Melihat perkembangan batik pada waktu itu, membuat orang-orang China yang berjiwa wiraswata dengan cepat menangkap peluang, melakukan berbagai inovasi, dan banyak yang berkecimpung di dunia pembatikan. Memasuki periode pasca tahun 1910 produksi batik yang dihasilkan orang-orang china (china peranakan) memenuhi pasar. Kecermatan dan kehalusan dalam membuat batik, banyak diakui jauh lebih baik dari batik buatan orang-orang Belanda. Batik buatan ora

Mitologi Berdirinta Desa Bugangan Kedungwuni

                        Desa Bugangan Kec. Kedungwuni Kab. Pekalongan Desa Bugangan Kec. Kedungwuni Kab. Pekalongan,  Letak Geografis  Desa Bugangan Kec. Kedungwuni , Sebelah Utara  : Desa Tangkil Kulon ,Sebelah Selatan : Desa Kemasan ,Sebelah Barat : Desa Rengas,Sebelah Timur : Desa Karangdowo, Desa Bugangan terdiri dari 4 dusun Bugangan Barat , Bugangan Tengah ,Bugangan Timur, Bugangan Gending.  Sejarah Desa   Desa Bugangan Kec. Kedungwuni Pada zaman dahulu kala ada ada seorang kakak beradik, mereka bernama sosro dan banyak ngampar. Keduanya berselisish paham sehingga terjadi perkelahian yang sangat dahsyat, agar perkelahian tersebut tidak berlarut-larut akhirnya banyak ngampar berinisiatif menghindari banyak sosro dengan cara berenang di sungai yang mana sungai tersebut bernama sungai sengkarang. Setelah lama berenang akhirnya banyak ngampar terdampar (bahsa jawa: kemasang) di suatu

Mitologi Berdirinya Desa Karang Dowo, Kedungwuni

                                                      Menurut cerita tutur tetua masyarakat, sejarah Desa Karangdowo berasal dari datangnya dua orang perantau kakak beradik dari Jawa Timur, tepatnya dari Surabaya. Beliau bernama Tumenggung Kobar dan sang adik bernama Ki Ageng Cingkring. Keduanya beragama Budha Geni. Setelah mengembara ke sana kemari, mereka mencari daerah yang dianggap cocok untuk bertempat tinggal. Dari situlah mereka menemukan seuah daerah di tepian sebuah sungai dan di tempat itu juga terhampar sebuah karang yang memanjang di sepanjang sungai sehingga Tumenggung Kobar dan Ki Ageng Cingkring menamakan daerah tersebut Karangdowo. "Karang" berarti tanah atau pekarangan, sedangkan "dowo" berarti panjang. Tumenggung Kobar memiliki seorang anak laki-laki bernama Wongsopati. Wongsopati menganut agama Islam yang selanjutnya menjadi sesepuh di Desa Karangdowo. Tahun demi tahun, karena lanjut usia akhirnya Tumenggung Kobar meninggal dunia. Sebelum meningg

Klenteng Po An Thian di Kota Pekalongan

                          Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bukti-bukti sejarah klenteng Po An Thian yang terkumpul, lebih banyak berupa data lapangan daripada data pustaka yang otentik. Data pustaka tertua yang dapat dilacak adalah sebuah salinan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari ‘Perkumpulan Po An Thian’ tahun 1917. Nama Po An Thian (:Hokkian) atau Bao An Dian (:Mandarin) secara harafiah berarti ‘istana mustika keselamatan’ dan bila dijabarkan akan mengandung makna ‘Tempat Ibadah (sanctuary) yang (diharapkan) dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan sebagai suatu bentuk keselamatan bagi kehidupan umatnya’. Kata ‘perlindungan’ disini bukan berarti sebagai tempat untuk mencari ‘backing’ ataupun ‘ngumpet’ (:bahasa Jawa), namun memiliki pengertian sebagai tempat untuk mendapatkan rasa bathin yang aman dan nyaman. Bathin akan merasa aman dan nyaman karena dijauhkan dari segala bentuk pikiran buruk ataupun jahat. Kata ‘kesejahteraan’ berarti suatu keadaan yang meng