Profil Pemukiman Pekalongan Baru Kelompok penduduk Cina yang disebut Ma Huan pada abad XIV ketika singgah di Pekalongan itu adalah kampung Sampangan. Letaknya di dekat
muara sungai Kupang atau sungai Loji. Karena di situ tempat tambatan sampan-sampan yang mengangkut barang dagangan keluar masuk pelabuhan. Kampung Sampangan sekarang juga
disebut kampung Pecinan, karena sejak awal terjadinya pemukiman telah dihuni oleh
komunitas masyarakat Cina. Di samping hunian komunitas Cina terdapat hunian masyarakat pribumi, Arab dan Keling. Akan tetapi tidak ada keterangan di mana kira-kira kelompok
masyarakat di luar masyarakat Cina bermukim.
Karena pembangunan pemukiman kota pantai di
Asia Tenggara pada umumnya ada di muara
sungai. Akan tetapi sulit untuk diketahui pola tata ruangnya. Sebagai pemukiman niaga kelompok
pemukiman pantai pada abad XIV selalu
menyertakan keberadaan pasar sebagai pusat
ekonomi.
Model pemukiman niaga pantai jawa yang
merupakan awal dari kota-kota niaga dapat dicontohkan seperti pelabuhan Leran. Yang pada
masa abad XI pernah menjadi pelabuhan niaga
bagi kerajaan Jenggala. Di Leran (Gresik)
pemukiman masyarakat Cina berada di
sepanjang sungai Manyar. Desa yang dihuni oleh
masyarakat Cina itu disebut Kampung Pasucinan dan masyarakat lainnya khususnya pedagang
asing dari Arab, Perlak dan Gujarat telah
bermukim di seberangnya. Pemukiman di
kampung Sampangan merupakan awal dari
perkembangan kota Pekalongan, yang
menempatkan sungai Loji sebagai pangkalan pelabuhan niaga. Seperti dilaporkan Ma Huan
karena tidak jauh dari pelabuhan dikelilingi hutan
maka dapat diperkirakan luas pemukiman
Pekalongan baru terbatas di sekitar kampung
Sampangan sampai kampung Arab yang berada
di seberang sebelah timur sungai Loji. Di selatan kampung Sampangan sepanjang sungai Loji
masih berwujud hutan. Perkembangan lanjut
Pekalongan menjadi kota terjadi pada masa abad
XV hingga XVI bersamaan timbulnya kota-kota
pantai berkaitan dengan Islamisasi di Jawa.
Lalu siapa yang berkuasa di wilayah pelabuhan Pekalongan baru? Catatan dari Ma Huan yang
melukiskan Pekalongan pada tahun 1433 tak
menceritakan siapa penguasa pelabuhan
Pekalongan. Kronik tempatan seperti Babad
Tanah Jawi (BTJ) yang ditulis pada masa
pemerintahan Mataram Islam abad XVII lebih banyak menceritakan peran para wali pada
tahun 1522 ketika kerajaan Islam pertama
Demak berdiri. Pekalongan oleh Adipati
Mandurorejo disebut sebagai bupati Pekalongan
pertama di bawah Mataram Islam Yogyakarta.
Pada abad XVI (tahun 1623) ketika Mataram Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan Agung.
Cerita tutur masyarakat Pekalongan mengenai
Bahurekso dianggap sebagai pendiri kota
Pekalongan pada abad XVI (tahun 1623) ketika
Mataram Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan
Agung dan kedudukan keratonnya di Kota Gede. Kronik yang agak informatif sebagai sumber
sejarah lokal Pekalongan abad XIV barangkali
dapat dilihat pada naskah-naskah Cirebon.
Karena sejak abad XIV Pekalongan sudah
memiliki hubungan dengan Jawa Barat. Diketahui
bahwa sejak abad XII Masehi ketika Pekalongan berstatus sebagai kerajaan dan mengadakan
persekutuan dengan kerajaan-kerajaan Sunda
status daerah pantai utara Jawa Tengah sebelah
barat merupakan bagian dari kekuasaan
kerajaan sunda Galuh. Status tanah Pekalongan,
Batang dan Tegal adalah sebagai tanah gaduhan. Menurut de Graaf sampai abad XVI Masehi ketika
Cirebon menjadi kerajaan Islam dan kerajaan
Pajajaran runtuh pada tahun 1552 status tanah
tersebut masih belum berubah meski Jawa Barat
sudah beralih dari kerajaan Pajajaran berganti di
bawah kekuasaan kerajaan Islam Cirebon. Sejak kerajaan Mataram Yogyakarta menguasai daerah
pantai utara barat yang oleh kerajaan disebut
sebagai daerah pesisir Kilen, Pekalongan, Batang
dan Kendal menjadi bagian kekuasaan Mataram
dan statusnya berubah menjadi tanah perdikan.
Hubungan Pekalongan dengan penguasa Cirebon berlangsung sejak tahun 1479 Masehi.
Pekalongan, selain merupakan daerah niaga juga
menjadi sasaran penyebaran agama Islam di
wilayah timur (Lihat Bab Islamisasi di
Pekalongan). Kronik Cirebon baik yang berupa
naskah babad Kacirebonan maupun sejarah Cirebon yang ditulis oleh Wangsa Karta
mengisahkan bahwa salah seorang istri dari
Sunan Syarif Hidayatullah (Gunung Jati) yang
bernama Ong Tien Nio salah seorang putri kaisar
Cina dari Dinasti Ming, yang dikirim ke Cirebon
untuk menemui Sunan Syarif Hidayatullah. Waktu putri Ong Tien Nio datang ke keraton Pakungwati,
Sunan Syarif sedang menyebarkan agama Islam
di Lur Agung. Atas saran Pangeran Cakrabuana
(mertua Sunan Syarif) Ong Tien Nio
diperkenankan menyusul ke Lur Agung. Di Lur
Agung akhirnya mereka menikah. Sejak putri Ong Tien Nio menjadi permaisuri raja, ia mendapat
sebutan Nyi Roro Sumanding.
Mengenai sumber tersebut H.J. de Graaf dan
Pigeoud memberikan keterangan bahwa asal
usul putri Ong Tien yang dinyatakan dari daratan
Cina adalah untuk menarik kepercayaan masyarakat dan kewibawaan keraton bahwa ia
putri dari keturunan keluarga kaisar Cina.
Meskipun tidak ada sumber yang tepat terhadap
asal usul putri Cina yang memasuki singgasana
keraton Cirebon pada akhir abad XIV namun
peranannya di dalam kerajaan Cirebon berpengaruh besar. Peran Ong Tien Nio di dalam
keraton berpeluang untuk menempatkan para
pejabat daerah dari kerabat cina-cina kaya untuk
menjadi kepala daerah. Di Pekalongan Ong Tien
Nio telah mengangkat seorang warga Cina dari
keluarga Wu bernama Wu Hang. Wu Hang sebelumnya adalah kepala bandar yang
menguasai lalu lintas perdagangan di pelabuhan
Pekalongan.
Di dalam naskah Kertabumi dalam Gatra Sawala
pada tahun 1485 daerah Pekalongan dikepalai
oleh keluarga Wu dengan nama Wu Hang yang artinya memiliki keindahan melimpah. Keluarga
ini mendapatkan anugerah dari sunan Cirebon
karena telah berhasil menciptakan kemakmuran
baik dalam perdagangan maupun dalam
kerajinan batik. Demikian juga dalam penyebaran
agama Islam, Pekalongan telah menjadi tempat singgah para ulama seberang yang sebelumnya
berada di kota-kota pantai jawa dari Cirebon,
Demak dan Gresik (Surabaya).
muara sungai Kupang atau sungai Loji. Karena di situ tempat tambatan sampan-sampan yang mengangkut barang dagangan keluar masuk pelabuhan. Kampung Sampangan sekarang juga
disebut kampung Pecinan, karena sejak awal terjadinya pemukiman telah dihuni oleh
komunitas masyarakat Cina. Di samping hunian komunitas Cina terdapat hunian masyarakat pribumi, Arab dan Keling. Akan tetapi tidak ada keterangan di mana kira-kira kelompok
masyarakat di luar masyarakat Cina bermukim.
Karena pembangunan pemukiman kota pantai di
Asia Tenggara pada umumnya ada di muara
sungai. Akan tetapi sulit untuk diketahui pola tata ruangnya. Sebagai pemukiman niaga kelompok
pemukiman pantai pada abad XIV selalu
menyertakan keberadaan pasar sebagai pusat
ekonomi.
Model pemukiman niaga pantai jawa yang
merupakan awal dari kota-kota niaga dapat dicontohkan seperti pelabuhan Leran. Yang pada
masa abad XI pernah menjadi pelabuhan niaga
bagi kerajaan Jenggala. Di Leran (Gresik)
pemukiman masyarakat Cina berada di
sepanjang sungai Manyar. Desa yang dihuni oleh
masyarakat Cina itu disebut Kampung Pasucinan dan masyarakat lainnya khususnya pedagang
asing dari Arab, Perlak dan Gujarat telah
bermukim di seberangnya. Pemukiman di
kampung Sampangan merupakan awal dari
perkembangan kota Pekalongan, yang
menempatkan sungai Loji sebagai pangkalan pelabuhan niaga. Seperti dilaporkan Ma Huan
karena tidak jauh dari pelabuhan dikelilingi hutan
maka dapat diperkirakan luas pemukiman
Pekalongan baru terbatas di sekitar kampung
Sampangan sampai kampung Arab yang berada
di seberang sebelah timur sungai Loji. Di selatan kampung Sampangan sepanjang sungai Loji
masih berwujud hutan. Perkembangan lanjut
Pekalongan menjadi kota terjadi pada masa abad
XV hingga XVI bersamaan timbulnya kota-kota
pantai berkaitan dengan Islamisasi di Jawa.
Lalu siapa yang berkuasa di wilayah pelabuhan Pekalongan baru? Catatan dari Ma Huan yang
melukiskan Pekalongan pada tahun 1433 tak
menceritakan siapa penguasa pelabuhan
Pekalongan. Kronik tempatan seperti Babad
Tanah Jawi (BTJ) yang ditulis pada masa
pemerintahan Mataram Islam abad XVII lebih banyak menceritakan peran para wali pada
tahun 1522 ketika kerajaan Islam pertama
Demak berdiri. Pekalongan oleh Adipati
Mandurorejo disebut sebagai bupati Pekalongan
pertama di bawah Mataram Islam Yogyakarta.
Pada abad XVI (tahun 1623) ketika Mataram Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan Agung.
Cerita tutur masyarakat Pekalongan mengenai
Bahurekso dianggap sebagai pendiri kota
Pekalongan pada abad XVI (tahun 1623) ketika
Mataram Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan
Agung dan kedudukan keratonnya di Kota Gede. Kronik yang agak informatif sebagai sumber
sejarah lokal Pekalongan abad XIV barangkali
dapat dilihat pada naskah-naskah Cirebon.
Karena sejak abad XIV Pekalongan sudah
memiliki hubungan dengan Jawa Barat. Diketahui
bahwa sejak abad XII Masehi ketika Pekalongan berstatus sebagai kerajaan dan mengadakan
persekutuan dengan kerajaan-kerajaan Sunda
status daerah pantai utara Jawa Tengah sebelah
barat merupakan bagian dari kekuasaan
kerajaan sunda Galuh. Status tanah Pekalongan,
Batang dan Tegal adalah sebagai tanah gaduhan. Menurut de Graaf sampai abad XVI Masehi ketika
Cirebon menjadi kerajaan Islam dan kerajaan
Pajajaran runtuh pada tahun 1552 status tanah
tersebut masih belum berubah meski Jawa Barat
sudah beralih dari kerajaan Pajajaran berganti di
bawah kekuasaan kerajaan Islam Cirebon. Sejak kerajaan Mataram Yogyakarta menguasai daerah
pantai utara barat yang oleh kerajaan disebut
sebagai daerah pesisir Kilen, Pekalongan, Batang
dan Kendal menjadi bagian kekuasaan Mataram
dan statusnya berubah menjadi tanah perdikan.
Hubungan Pekalongan dengan penguasa Cirebon berlangsung sejak tahun 1479 Masehi.
Pekalongan, selain merupakan daerah niaga juga
menjadi sasaran penyebaran agama Islam di
wilayah timur (Lihat Bab Islamisasi di
Pekalongan). Kronik Cirebon baik yang berupa
naskah babad Kacirebonan maupun sejarah Cirebon yang ditulis oleh Wangsa Karta
mengisahkan bahwa salah seorang istri dari
Sunan Syarif Hidayatullah (Gunung Jati) yang
bernama Ong Tien Nio salah seorang putri kaisar
Cina dari Dinasti Ming, yang dikirim ke Cirebon
untuk menemui Sunan Syarif Hidayatullah. Waktu putri Ong Tien Nio datang ke keraton Pakungwati,
Sunan Syarif sedang menyebarkan agama Islam
di Lur Agung. Atas saran Pangeran Cakrabuana
(mertua Sunan Syarif) Ong Tien Nio
diperkenankan menyusul ke Lur Agung. Di Lur
Agung akhirnya mereka menikah. Sejak putri Ong Tien Nio menjadi permaisuri raja, ia mendapat
sebutan Nyi Roro Sumanding.
Mengenai sumber tersebut H.J. de Graaf dan
Pigeoud memberikan keterangan bahwa asal
usul putri Ong Tien yang dinyatakan dari daratan
Cina adalah untuk menarik kepercayaan masyarakat dan kewibawaan keraton bahwa ia
putri dari keturunan keluarga kaisar Cina.
Meskipun tidak ada sumber yang tepat terhadap
asal usul putri Cina yang memasuki singgasana
keraton Cirebon pada akhir abad XIV namun
peranannya di dalam kerajaan Cirebon berpengaruh besar. Peran Ong Tien Nio di dalam
keraton berpeluang untuk menempatkan para
pejabat daerah dari kerabat cina-cina kaya untuk
menjadi kepala daerah. Di Pekalongan Ong Tien
Nio telah mengangkat seorang warga Cina dari
keluarga Wu bernama Wu Hang. Wu Hang sebelumnya adalah kepala bandar yang
menguasai lalu lintas perdagangan di pelabuhan
Pekalongan.
Di dalam naskah Kertabumi dalam Gatra Sawala
pada tahun 1485 daerah Pekalongan dikepalai
oleh keluarga Wu dengan nama Wu Hang yang artinya memiliki keindahan melimpah. Keluarga
ini mendapatkan anugerah dari sunan Cirebon
karena telah berhasil menciptakan kemakmuran
baik dalam perdagangan maupun dalam
kerajinan batik. Demikian juga dalam penyebaran
agama Islam, Pekalongan telah menjadi tempat singgah para ulama seberang yang sebelumnya
berada di kota-kota pantai jawa dari Cirebon,
Demak dan Gresik (Surabaya).
Share this article :
Komentar
Posting Komentar