Pada saat Batik Pekalongan memasuki pasar dengan konsumen orang-orang yang menggemari pola-pola buketan ( Belanda ), para pengusaha Tionghoa di Pekalongan mulai menerapkan ragam hias buketan bagi produknya sebagai salah satu pola Batik Cina yang mendapat pengaruh budaya Eropa ( Belanda ) setelah tahun 1910. Langkah para pengusaha Tionghoa yang terkenal jeli dalam membaca situasi pasar itu, memang cukup tepat. Penerapan ragam hias buketan itu mereka lakukan pada saat Batik Belanda yang berawal kurang lebih pada tahun 1840 dan dipelopori oleh Caroline Josephine Van Franquemont dan Catherina Carolina Van Oosterom, berada dalam puncak pemasarannya. Pada awalnya batik Belanda tidak menampilkan pola-pola buketan. Namun demikian, seiring dengan adanya perkembangan polanya, maka batik Belanda pun menampilkan ragam hias buket – buket yang halus dan indah dengan warna-warna cerah serta serasi, bahkan sering dipadu dengan isen latar ragam hias tradisional keraton seperti galaran, gringsing, dan blanggreng yang dibatik sangat halus ( lebih halus dari batikan keraton ). Setelah bahan kimia masuk ke Jawa, maka batik Belanda yang semula hanya menampilkan dua warna itu, mulai menampilkan beragam warna sehingga tampak lebih indah dan halus.
Pola buketan tersebut pertama kali diproduksi oleh Cristina Van Zuylen yaitu salah satu seorang pengusaha batik keturunan Belanda kelas menengah di Pekalongan. Pada tahun 1880, Cristina Van Zuylen telah mengubah tradisi yang semula sebagai karya anonym ( tanpa diketahui identitas pembuatnya ) dan bersifat missal, menjadi karya individual. Identitas nama Cristina van Zuylen dituliskan disudut bagian dalam kain bentuk tanda tangan yang berbunyi “T. van Zuylen” ( kependekan dari Tina Van Zuylen ) pada setiap karyanya. Batik buketan yang terkenal adalah karya Zuylen bersaudara yaitu Cristina Van Zuylen dan Lies van Zuylen. Batik tersebut sangat laku sehingga pengusaha-pengusaha menengah Tionghoa yang semula menerapkan pola-pola dengan ragam hias mitos Cina maupun keramik Cina, mulai membuat batik buketan setelah tahun 1910 sebagaimana diuraikan dimuka. Para pengusaha tersebut antara lain Lock Tjan dari Tegal, Oey-Soe-Tjoen dari Kedungwuni, dan Nyonya Tan-Ting-Hu yang mulai tahun 1925 telah memproduksi batik dengan format “pagi-sore”. Selain itu, dikampung Kwijan ( Tempat tinggal Kepala Daerah Pekalongan Tan-Kwi-Jan ) juga terdapat dua orang pengusaha batik buketan dari golongan Tionghoayang cukup terkenal yaitu Tjoa-Sing-Kwat dan Mook-Bing-Liat.
Bangkitnya para pengusaha kelas menengah Tionghoa di Pekalongan untuk memproduksi batik dengan pola buketan ternyata mampu memberikan nilai tambah bagi karya seni batik dan tidak hanya menjadi barang dagangan semata. Selain jumlah produksinya yang meningkat, batik karya pengusaha Tionghoa tersebut juga memiliki nilai seni yang tinggi bahkan bisa disejajrkan dengan pelukis di Eropa ( Belanda ), terutama batik yang memiliki pola dan ragam hias mitos Cina. Namun demikian, batik yang diusahakan oleh pengusaha pribumi tetap tidak mengalami perubahan karena batik hanya dianggap sebagai kerajinan atau dagangan saja. Oleh karena itu, batik dibiarkan seperti adanya saja karena dipandangsebagai milik pasar. Hal itulah yang membedakan kedua golongan pengusaha yaitu Tionghoa dan pribumi dalam mengelola industry batik. adanya persaingan antara pengusaha Tionghoa dalam industri pembatikan telah membawa berbagai ketegangan, sehingga menimbulkan konflik yang sangat memprihatinkan.
refrensi ; http://museumbatikdipekalongan.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
refrensi ; http://museumbatikdipekalongan.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
Komentar
Posting Komentar