Langsung ke konten utama

Klenteng Po An Thian di Kota Pekalongan

                         

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bukti-bukti sejarah klenteng Po An Thian yang terkumpul, lebih banyak berupa data lapangan daripada data pustaka yang otentik. Data pustaka tertua yang

dapat dilacak adalah sebuah salinan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari ‘Perkumpulan Po An Thian’ tahun 1917. Nama Po An Thian (:Hokkian) atau Bao An Dian (:Mandarin) secara harafiah berarti ‘istana mustika keselamatan’ dan bila dijabarkan akan mengandung makna ‘Tempat Ibadah (sanctuary) yang (diharapkan) dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan sebagai suatu bentuk keselamatan
bagi kehidupan umatnya’. Kata ‘perlindungan’ disini bukan berarti sebagai tempat untuk mencari ‘backing’ ataupun ‘ngumpet’ (:bahasa Jawa), namun memiliki pengertian sebagai tempat untuk mendapatkan rasa bathin yang aman dan nyaman. Bathin akan merasa aman dan nyaman karena dijauhkan dari segala bentuk pikiran buruk ataupun jahat. Kata ‘kesejahteraan’ berarti suatu keadaan yang menghindari segala bentuk permusuhan, pertentangan, pikiran-pikiran jahat, percekcokan ataupun mara bahaya. Kesejahteraan ini otomatis akan muncul bila bathin merasa aman dan nyaman. Perlindungan dan kesejahteraan inilah yang disebut sebagai ‘mustika’ bagi keselamatan hidup manusia. Berdasarkan penelitian lapangan, diketahui bahwa Po An Thian diperkirakan sudah berusia 119 tahun pada bulan Juli 2001. Hal ini berpatokan pada keterangan para sesepuh bahwa pada tahun 1957, klenteng Po An Thian mengadakan ulang tahun yang ke 75. Bila patokan ini dihitung mundur, maka akan didapatkan bahwa klenteng Po An Thian didirikan pada tahun 1882. Perhitungan tahun inilah yang sekarang ini dipercayai oleh sebagian besar masyarakat sebagai tahun berdirinya klenteng Po An Thian. Sejarah Bangunan dan letak pemujaan. Tidak diketahui jelas tentang asal-usul pendiri klenteng Po An Thian, dan siapa yang memberi nama demikian. Menurut cerita sebagian masyarakat Pekalongan, dipercaya bahwa pendiri bangunan klenteng Po An Thian adalah leluhur dari keluarga bermarga ‘Touw’. Cerita ini didukung dengan adanya pilar Naga di rumah keluarga Touw (dulu berada di Jl. Belimbing No. 49) yang mirip dengan pilar Naga di klenteng Po An Thian. Menurut cerita, pilar Naga yang ada di klenteng Po An Thian tadinya dimaksudkan untuk dipergunakan di rumah keluarga Touw. Pilar ini khusus dipesan dengan mengundang seorang arsitek dan ahli ukir dari Tiongkok. Namun setelah seorang ahli Hong Sui (Feng Sui) dari Tiongkok diundang untuk mengatur Hong Sui-nya, menurut si ahli Hong Sui tersebut, pilar sepasang Naga sebaiknya hanya digunakan untuk klenteng. Akhirnya pilar Naga digunakan untuk bangunan klenteng Po An Thian, dan untuk rumah keluarga Touw, dibuatkan sepasang pilar yang berhiaskan Naga dan burung Hong (Phoenix).

Pembangunan klenteng Po An Thian ini diperkirakan selesai pada tahun 1882. Pada awalnya, klenteng Po An Thian hanya berbentuk Bangunan Utama saja, dimana para ‘Sin Beng’ yang dipuja (antara 1882 s/d 1964) adalah: Sin Long Tay Te, Tek Hay Cin Jin/ Lak Kwa Ya, Khay Lam Tay Ong dan To Te Kong. Bangunan Utama ini berbentuk ruang segi empat, dengan tiga pintu masuk dan dua pintu samping.Pada bagian depan sebelum pintu masuk, terdapat patung dua ekor singa penjaga (Bao Gu Shi), dan di bagian belakangnya terdapat semacam pelataran dengan dua buah tiang penyangga terbuat dari kayu yang masing-masing berukirkan naga dan delapan dewa. Di bagian tengah diantara kedua tiang penyangga ini terdapat sebuah tempat pedupaan sebagai pemujaan kepada Thi Kong/ Thian Kong (Tian Gong). Di bagian kanan dan kiri tembok sebelum pintu masuk, terdapat ukiran relief seekor naga besar dan naga kecil (sebelah kanan) serta seekor harimau (sebelah kiri) yang melambangkan unsur ‘Im- Yang’. Pada pintu masuk yang di tengah (pintu utama), daun pintunya bergambar Malaikat Pintu: Ut Ti Kiong dan Cin Siok Po, sedangkan dibagian atasnya terdapat papan nama klenteng Po An Thian yang terletak secara mendatar. Pada bagian pintu masuk kanan dan kiri, empat daun pintunya masing-masing bergambar empat pengawal raja dan dibagian atasnya terdapat papan nama Tek Hay Cin Jin yang juga diletakkan secara mendatar. Gambar empat pengawal raja ini kemungkinan besar digambar setelah adanya arca Sin Long Tay Te, sebab gambar ini
tidak terdapat disembarang klenteng. Hanya klenteng yang ‘tuan rumah’nya setingkat raja/ kaisar saja yang boleh dihiasi gambar empat pengawal ini. Empat pengawal ini biasanya digambarkan sebagai empat orang menteri yang menggunakan jubah ‘Bangau’ (Konon bangau dalam bahasa mandarin berbunyi Guan, bunyi yang mirip dengan Guan yang berarti melihat ke bawah/ meneropong. Maksudnya agar para menteri tersebut senantiasa mau memperhatikan keadaan rakyatnya).Selain gambar empat pengawal, terdapat pula papan nama Sin Long Tay Te yang terletak secara vertikal di atas papan nama Po An Thian (di atas pintu utama), yang kemungkinan besar juga dipasang setelah datangnya arca Sin Long Tay Te (lihat bagian Dokumentasi Gambar).Bangunan lain yang dibangun kemudian adalah tiga buah kamar yang terletak dibagian belakang Bangunan Utama (yang sekarang dijadikan Aula), dan berfungsi sebagai ruang kantor, gudang serta kamar tidur ‘Bio Kong’. Menyusul kemudian adalah tiga buah ruang kecil yang dikemudian hari dijadikan ruang pemujaan Koan Im, Thay Siang Lo Jin dan sebuah Gudang. Tidak ada kejelasan yang pasti, kapan ruangan-ruangan ini mulai didirikan. Klenteng Po An Thian ini sejak tahun 1959 berada dalam pengelolaan suatu badan hukum yang berbentuk yayasan, dimana pendiri yayasan tersebut adalah Bp. Gan Kian Kho, Bp. Gan Kian Bouw dan Bp. Ho Ie Djien. Kemudian pada tahun 1987, yayasan ini mulai bergabung dalam wadah Tri Dharma. Pada era kepengurusan Bp. Tan Boen King, dilakukan renovasi bangunan, yaitu dengan merenovasi dua ruang di samping belakang bangunan utama. Ruang yang pertama (cikal bakal ruang Thay Siang Lo Jin) difungsikan sebagai gudang, dan ruang kedua (cikal bakal ruang Koan Im) difungsikan sebagai ruang pemujaan kepada ‘Sin Beng’ Koan Te Kun. Selain itu juga terjadi penambahan pemujaan di ruang bangunan utama dengan ‘Sin Beng-Sin Beng’: Thian Siang Sing Bo, Jay Sin Ya dan Kong Tek Cun Ong (arca kecil), yang awalnya adalah titipan dari umat. Tak lama kemudian, atas bantuan dari Suhu Sim Kong Siong/ Lao Se (Surabaya), pemujaan ditambah dengan Buddha Jie Lay Hud (arca dari Thailand), Mi Lek Hud dan Koan Im Po Sat. Dengan adanya penambahan ini, maka ruang Koan Te Kun digunakan sebagai ruang pemujaan kepada Buddha dan Po Sat. Sedangkan pemujaan kepada Koan Te Kun dipindahkan ke ruang di bangunan utama, sehingga pada saat itu di bangunan utama terdapat ‘Sin Beng- Sin Beng’ : Sin Long Tay Te, Tek Hay Cin Jin/ Lak Kwa Ya, Khay Lam Tay Ong, To Te Kong (Hok Tek Ceng Sin), Thian Siang Sing Bo, Jay Sin Ya, Koan Te Kun dan Kong Tek Cun Ong. Pada sekitar tahun 1980 - 1981, dilaksanakan pembangunan tahap pertama pada bagian belakang Bangunan Utama. Ruangan yang tadinya berfungsi sebagai kantor, gudang dan kamar ‘Bio Kong’, dibongkar dan dijadikan aula dan dapur. Dengan dibangunnya aula, maka praktis klenteng Po An Thian menjadi tidak memiliki ruang kantor lagi, sehingga sebagian arsip-arsipnya ditumpuk dalam gudang. Hal ini mungkin yang menyebabkan terjadinya kekacauan manajemen dan banyak dokumentasi klenteng yang hilang. Renovasi ini selesai dan diresmikan pada tanggal 4 Juli 1982. Tak lama kemudian, atas pemberian dari Bhikshu Sakyasakti/ Suhu Cong (Jakarta), klenteng Po An Thian bertambah ‘Sin Beng’nya dengan Hian Thian Siang Te, sehingga kembali terjadi perubahan tata letak para ‘Sin Beng’. Ruang gudang di sebelah ruang Koan Im (cikal bakal ruang Thay Shang Lo Jin) dibersihkan, dan ‘Sin Beng’ Thian Siang Sing Bo dan Koan Te Kun dipindahkan dari ruang bangunan utama dan ditempatkan bersama-sama dengan ‘Sin Beng’ Hian Thian Siang Te di ruang tersebut.Pembangunan kemudian dilanjutkan tahap kedua, dengan melakukan pembangunan panggung, ruang rias pentas, toilet dan gedung pada tanah di bagian timur Bangunan Utama, yang kemudian dipinjam oleh Makin. Renovasi ini selesai pada tgl. 3 Juli 1983. Pada tahun 1991, atas sumbangan dari Bp. Tan Eng Tjan pemujaan di klenteng Po An Thian bertambah lagi dengan ‘Sin Beng’ Thay Siang Lo Jin. Pemindahan ‘Sin Beng’ dilakukan lagi, yakni dengan memindahkan ‘Sin Beng’ Koan Te Kun ke pemujaan ruang bangunan utama, dan ditempatkan bersama-sama ‘Sin Beng’ Khay Lam Tay Ong. Kemudian ‘Sin Beng’ Thay Siang Lo Jin di tempatkan di tengah, di antara ‘Sin Beng’ Thian Siang Sing Bo dan Hian Thian Siang Te, dan ruang pemujaannya diberi nama Tian Yo Gong. Tahun 1992, klenteng Po An Thian menambah ‘Sin Beng’nya dengan Te Cong Ong Po Sat, dan pemujaannya ditempatkan dalam ruang Koan Im. Tahun 1993, seorang lhama Tibet yang berasal dari Taiwan (sering disebut sebagai Shang She), datang ke klenteng Po An Thian. Lhama ini menyumbangkan tiga buah arca ‘Sin Beng’, yaitu: To Te Kong, Koan Te Kun dan Lie Lo Cia. Susunan pemujaan di klenteng Po An Thian ‘sempat’ diubah, antara lain dengan menempatkan pemujaan Lie Lo Cia di ruang utama, memindahkan Tek Hay Cin Jin ke meja pemujaan Hok Tek Ceng Sin, dan meletakkan foto dirinya untuk dipuja, di sebelah meja pemujaan Koan Im. Namun kemudian karena para umat dan simpatisan banyak yang merasa keberatan dengan tata letak pemujaan yang baru ini, akhirnya sedikit demi sedikit, tata letak pemujaan dikembalikan seperti semula. Tahun 1995, klenteng Po An Thian menambah pemujaan kepada Cap Pwee Lo Han, sumbangan Bp. Eric K K Tay (Singapura). Arca-arca Cap Pwee Lo Han (18 Arahat) ini setelah di ‘blessing’ oleh Bhikkhu Uttamo (dari Blitar), kemudian oleh pengurus ditempatkan pada meja pemujaan di sisi sebelah kanan Koan Im, tempat dimana tadinya digunakan untuk pemujaan kepada foto lhama Tibet, dan dengan demikian tidak lagi terdapat pemujaan kepada foto lhama tersebut. Pada tahun 1999, klenteng Po An Thian merestorasi cat dan ornamen-ornamen yang rusak serta membuat duplikat tiga buah joli/ tandu (kio). Joli/ tandu tersebut selesai dibuat pada akhir tahun 2000 dan dipergunakan pertama kali pada acara kirab ‘Goan Siauw’ Imlek 2552 (tahun 2001).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Bahasa Jawa Dialek Pekalongan

Bahasa Jawa Pekalongan  atau  Dialek Pekalongan  adalah salah satu dari dialek-dialek  Bahasa Jawa  yang dituturkan di pesisir utara tanah Jawa, yaitu daerah  Jawa Tengah  terutama di  Kota Pekalongan  dan  Kabupaten Pekalongan . Dialek Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara daerah  Tegal  (bagian barat),  Weleri  (bagian timur), dan daerah  Pegunungan Kendeng  (bagian selatan). Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang "sederhana" namun "komunikatif". Meskipun ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang  Jogya  atau  Solo , dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti. Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya dialek Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di d

asal usul desa desa di Kajen

KAJEN_ Desa Nyamok_ Nama yang aneh, unik untuk sebuah desa. Sering dikira Nyamuk, padahal penulisan dan pengucapan yang benar adalah NYAMOK, menggunakan huruf “o”. Kenapa diberi nama Nyamok? ada sebuah kisah yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut : Di wilayah Pekalongan bagian selatan ada Bupati bernama Luwuk. Beliau mencintai seorang gadis bernama Dewi Sekar Tanjung. Sang Bupati berkenan untuk melamar sang gadis, dalam perjalanannya Bupati Luwuk melihat hamparan semak-semak yang sangat luas. Dalam bahasa Jawa dikatakan’  nyamut-nyamut’,  setelah didekati ternyata di semak-semak tersebut banyak didapati pohon  “Keyam”  akhirnya tempat tersebut diberi nama “Nyamok”. Kajen_ Dahulu ada dua adipati yaitu :Adipati Wirokusumo bertempat tinggal di Penjarakan ( sekarang Domiyang, Paningggaran ) dan Adipati Wirodanu yang bertempat tinggal di Luwuk ( Pekiringanalit, Kajen ). Kedua hidup rukun meski hidup berjauhan. Dikisahkan, suatu ketika kedua adipati jalan-jalan ke de

Sejarah Desa Rowosari, Ulujami Pemalang

A.      Latar Belakang Masalah Desa Rowosari merupakan sebuah desa yang masuk di wilayah Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, terletak di daerah  pantai utara ( pantura )  wilayah paling timur dari Kabupaten Pemalang ,  berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan  yang dipisahkan oleh aliran sungai Sragi. Keberadaan Rowosari dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan arkeologis. Temuan itu berupa punden berundak/candi, kuburan dan batu nisan di dukuh Jagalan (nisan etnis cina). Selain itu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan Islam juga dapat dihubungkan seperti adanya makam/kuburan Among Jiwo di pemakaman  Tenggulun/ Trenggulun , yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk setempat. Dewasa ini m asih banyak masyarakat yang belum mengetahui asal-usul tentang Desa Rowosari, baik dari sejarah maupun cerita rakyat, mitos, legenda yang membahas tentang Desa Rowosari, termasuk nama-nama  dan pengertian arti kata   dari masing-masing  dukuh/dusu