Langsung ke konten utama

situs cagar budaya "watu klenteng" di desa pajomblangan kec. kedungwuni kab. pekalongan.

 berbekal informasi dari seorang teman mengenai keberadaan sebuah benda cagar budaya berupa yoni di desa tersebut maka mebuat diri saya berkunjung ke sana.
adalah berupa Yoni atau masyarakat menyebutnya sebagai Watu Klenteng yang kini disimpan di balai desa Pajomblangan 2 tahun terakhir ini.
bersama ibu Ui Duhana dan bapak Toriq yang merupakan kepala dusun setempat menjelaskan mengenai asal muasal penemuan Yoni tersebut, berawal dari sebuah kerja bakti tahun 1976 guna pelebaran jalan tanpa disengaja warga menemukan Yoni tersebut di semak bambu yang lebat yang letaknya di sebelah timur sebuah mata air atau warga sekitar menamakanya sebagai Belik atau Jumbleng, dari sini pula muncul sebagai asal usul nama desa.

Foto Mukhammad Resnu Bachar.

tentang dekatnya lokasi Yoni dengan mata air, hal itu langsung mengingatkan pada secuil pengetahuan saya, dimana setiap tempat pemujaan pada masa lampau selalu berdekatan dengan sumber air, hal itu mengacu pada pola ketonis kepercayaan luhur mengenai pentingnya air. selain unsur agni (api) dan upakara (sesaji), unsur tirta (air) adalah bagian terpenting dalam setiap pemujaan agar para dewata berkenan hadir.

air pula adalah hal yang vital bagi kelangsungan hidup manusia, sejarah mencatat bahwa manusia selalu membentuk pola aglomerasi (titik kumpul) bermukim di dekat sumber air. prasasti pada Jawa kuno menuliskan tentang urgennya air, hal itu terpahat dalam prasasti bendosari, prasasti tukmas, dan prasasti cunggrang. sadar air sebagai penopang utama dalam kehidupan suatu ekosistem termasuk manusia di dalamnya. untuk mengurangi rusaknya penunjang kehidupan ini, pada zaman lampau munculah filosofi untuk mensucikan mata air dengan mendirikan tempat pemujaan, ditanami pohon beringin atau pohon bendo, di"hantu-hantu"in bahkan sampai saat ini masyarakat Pekalongan percaya jika dalam mata air terdapat siluman bernama Wiyangga atau Buncul. dalam hal ini sebuah konsep magisme sengaja diciptakan yang akan membuat orang takut untuk merusak, bahkan meludah sekalipun di mata air.
Foto Mukhammad Resnu Bachar.

 Yoni sendiri memiliki pasangan berupa batu Lingga sebagai simbol dari Siwa dan Shakti-Nya yang mewakili aspek perputaran kehidupan. mengenai ciri fisik Yoni "Watu Klenteng" ini terbuat dari batu andesit yang telah aus. memiliki tinggi 49 cm dengan ,berukuran luas sisi 48 x 48 cm, panjang cerat 23 cm, lebar lubang Yoni 18 x 18 cm. dengan cerat yang disangga seekor naga (dalam budaya Jawa, Naga adalah ular raksasa bermahkota, kadang bersayap. hal ini berasal dari tradisi Siwaisme bergabung dengan animisme Jawa, dalam cerita pewayang terdapat sosok naga bernama Sanghyang Anantaboga atau Antaboga adalah dewa penjaga di perut bumi).bapak Toriq menambahkan bahwa di timur desa yang berbatasan dengan kecamatan Karangdadap terdapat sebuah sawah milik almarhum bapak Slamet yang dahulu terdapat banyak batu batu berserakan, hal itu lantas mengganggu lahan pertanian tersebut yang akhirnya membuat si empunya sawah membuangi batu bata tersebut ke sungai di sebalah barat sawah. saat saya menunjukan meteran, beliau memperkirakan bahwa tebal batu bata tersebut sekitar 10 cm, sampai saat ini batu bata tersebut masih bisa dilihat apabila musim panen telah usai alias sawahnya sudah dibabat panen.
begitu pula saat perluasan lapangan di sebelah utara sawah, dimana pernah ditemukan sebuah kendi, pecahan keramik dan berbagai artefak yang diduga tebuat dari emas.
Foto Mukhammad Resnu Bachar.

Komentar

  1. Artikel yang sangat menarik, bisa kah selanjutnya mencari info tentang makam wali yg ada di desa pajomblangan dan sejarah munculnya belik atau jumbleng yg berjumlah 7 di desa pajomblangan.?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Bahasa Jawa Dialek Pekalongan

Bahasa Jawa Pekalongan  atau  Dialek Pekalongan  adalah salah satu dari dialek-dialek  Bahasa Jawa  yang dituturkan di pesisir utara tanah Jawa, yaitu daerah  Jawa Tengah  terutama di  Kota Pekalongan  dan  Kabupaten Pekalongan . Dialek Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara daerah  Tegal  (bagian barat),  Weleri  (bagian timur), dan daerah  Pegunungan Kendeng  (bagian selatan). Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang "sederhana" namun "komunikatif". Meskipun ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang  Jogya  atau  Solo , dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti. Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya dialek Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di d

asal usul desa desa di Kajen

KAJEN_ Desa Nyamok_ Nama yang aneh, unik untuk sebuah desa. Sering dikira Nyamuk, padahal penulisan dan pengucapan yang benar adalah NYAMOK, menggunakan huruf “o”. Kenapa diberi nama Nyamok? ada sebuah kisah yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut : Di wilayah Pekalongan bagian selatan ada Bupati bernama Luwuk. Beliau mencintai seorang gadis bernama Dewi Sekar Tanjung. Sang Bupati berkenan untuk melamar sang gadis, dalam perjalanannya Bupati Luwuk melihat hamparan semak-semak yang sangat luas. Dalam bahasa Jawa dikatakan’  nyamut-nyamut’,  setelah didekati ternyata di semak-semak tersebut banyak didapati pohon  “Keyam”  akhirnya tempat tersebut diberi nama “Nyamok”. Kajen_ Dahulu ada dua adipati yaitu :Adipati Wirokusumo bertempat tinggal di Penjarakan ( sekarang Domiyang, Paningggaran ) dan Adipati Wirodanu yang bertempat tinggal di Luwuk ( Pekiringanalit, Kajen ). Kedua hidup rukun meski hidup berjauhan. Dikisahkan, suatu ketika kedua adipati jalan-jalan ke de

Sejarah Desa Rowosari, Ulujami Pemalang

A.      Latar Belakang Masalah Desa Rowosari merupakan sebuah desa yang masuk di wilayah Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, terletak di daerah  pantai utara ( pantura )  wilayah paling timur dari Kabupaten Pemalang ,  berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan  yang dipisahkan oleh aliran sungai Sragi. Keberadaan Rowosari dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan arkeologis. Temuan itu berupa punden berundak/candi, kuburan dan batu nisan di dukuh Jagalan (nisan etnis cina). Selain itu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan Islam juga dapat dihubungkan seperti adanya makam/kuburan Among Jiwo di pemakaman  Tenggulun/ Trenggulun , yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk setempat. Dewasa ini m asih banyak masyarakat yang belum mengetahui asal-usul tentang Desa Rowosari, baik dari sejarah maupun cerita rakyat, mitos, legenda yang membahas tentang Desa Rowosari, termasuk nama-nama  dan pengertian arti kata   dari masing-masing  dukuh/dusu