Perjalanan kali ini saya memutuskan untuk mengunjungi situs Baron Sekeber di dukuh Kaum, desa Rogoselo, kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan. berbekal petunjuk dari warga setempat saya dan seorang teman memulai penelusuran situs ini. setelah kendaraan kami pakirkar di dekat warung di sekitar Bendungan Rogoselo kami mulai berjalan kaki menuju ujung lapangan setempat, setelah itu kami menyeberangi sungai dan menyusuri hutan karet PTPN IX, dan hal itu harus terulang tiga kali untuk mencapai situs tersebut. nyebrang sungai, nyusuri hutan, nyebrang sungai lagi, berjalan di hutan lagi, dan nyebrang sungai lagi. sebenarnya ada rute yang mudah namun jauh dari pemukiman warga, yaitu di salah satu persimpangan jalan yang menghubungkan desa Rogoselo dengan desa Pungangan, dari persimpangan itu kita cukup menuruni bukit lalu nyebrang sungai sekali dan langsung akan nampak pagar yang mengelilingi situs.
Setelah bergulat dengan air dan semak perdu, akhirnya kami sampai di situs Baron Sekeber. jadi menurut local wisdom / kearifan lokal setempat, arca ini merupakan perwujudan Baron Sekeber bersama istrinya yang alkisah hasil kutukan dari Ki Gede Panatas Angin setelan si Baron kalah bertarung hebat di darat, di udara, dan di dalam air yang akhirnya berujung pada membatunya tubuh Baron Sekeber sebagai konsekuensinya. hal ini pula yang akhirnya dipakai sebagai penamaan desa tersebut, Rogo berarti Badan dan Selo memiliki arti Batu.
Oke, sekarang kita berlanjut ke pembahasan dari sisi fakta. sekilas saja saya langsung menebak bahwa dua arca yang dianggap patung Baron Sekeber dan istrinya ini adalah Arca Dwarapala yang umumnya dipakai sebagai penjaga tempat suci dalam kepercayaan Hindu dan Buddha. terdapat duar arca Dwarapala dengan ukuran besar dan yang lebih kecil di sisi selatannya. berwajahnya Krodha (menakutkan) dan memegang Gada adalah ciri umum yang biasa ada pada arca Dwarapala. selain itu saya melihat ciri umum pada Dwarapala yaitu adanya tali yang yang melintang yang disebut Upawita atau Talikasta. membandingkan arca Dwarapala yang ada di tempat lain arca ini juga memiliki fisik mata melotot juga berambut keriting.
Kata Dwarapala sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna Penjaga Gerbang, sampai saat ini masih lestari di Pulai Bali yang notabene mewarisi tradisi Siwa Buddha pada masa lampau. biasanya Dwarapala di Bali ditempatkan pada pintu masuk areal Pura. terbuat dari batu Andesit, mungkin saja bahan baku arca Dwarapala Baron ini diambil dari sungai Nggoromanik yang melintas di dekatnya, ini juga menjadi ciri arca peradaban Jawa Kuna.
Setelah puas mengamati kedua arca tersebut, kami menaiki sebuah bukit ke arah timur sekitar 100 meter dari arca tersebut. dari pandangan mata sekilas ada yang unik dari bukit ini, yaitu banyaknya batu tersusun dan nampak bukit tersebut memang sengaja dibuat. setelah sampai pada bukit tersebut, ditengah rimbunnya pohon bambu, benar saja kami menemui sebuah Yoni dan Lingga yang oleh warga sekitar disebut Watu Lenjing. setidaknya terdapat tiga buah Yoni yang saya lihat saat itu, hal ini semakin membuat asumsi saya menguat bahwa situs ini adalah peninggalan peradaban masyarakat Hindu lampau. Yoni dan Lingga sendiri sebagai simbol Siwa sebagi Purusa dan Shakti-nya sebagai Pradhana.
Sebenarnya menurut warga jika mau berjalan naik bukit satu kilometer lagi, akan dijumpai sebuah batu setinggi satu meter yang menurut mitosnya jika mampu memeluk batu tersebut akan terpenuhi keinginannya, saya menduga batu tersebut adalah sejenis Menhir. tapi karena cuaca tidak memungkin hal tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke desa.
Komentar
Posting Komentar