DESA KEDUNGMALANG
Alkisah ada seorang kyai yang bernama kyai Cagak Aking, yaitu anak buah dari Pangeran Diponegoro. Setelah sampai pada suatu hutan yang lebat ia berhenti dan bermaksud membuka hutan tersebut. Namun ketika membuka hutan dan sampai di sebelah utara di situ sudah ada padukuhan Sumber. Sedangkan yang berkuasa di dukuh Sumber adalah Sutojoyo dan mbah Sarinten yang waktu itu sedang memperluas wilayahnya ke selatan. Di tengah-tengah kedua wilayah tersebut mereka bertemu dan terjadilah adu kekuatan antara kyai Cagak Aking melawan Sutojoyo yang dibantu oleh mbah Sarinten. Setelah bertempur sekian lama ternyata tidak ada yang kalah dan menang. Akhirnya tempat beradunya dua penguasa tadi diberi batas berupa patok dari batu (sampai sekarang masih dapat dijumpai). Setelah kejadian tersebut Sutojoyo dan mbah Sarinten membuat saluran air untuk mengairi sawah. Sewaktu sedang beristirahat dan akan menjalankan sholat, datanglah seekor ular besar yang bermaksud akan mengganggu. Ular besar tersebut adalah utusan dari kyai Cagak Aking yang masih dendam terhadap Sutojoyo dan mbah Sarinten. Oleh Sutojoyo ular tersebut berhasil dibunuh dengan sebilah pedang dan dipotong-potong menjadi tiga bagian. Ekornya tidak diketahui kemana jatuhnya, badannya jatuh di sungai Kupang dan membendung sungai tersebut sehingga menjadi sebuah kedung yang malang. Melihat kejadian tersebut anak buah Sutojoyo dan mbah sarinten melaporkan kepada mbah Nompoboyo. Kemudian oleh mbah Nompoboyo disarankan agar kedung yang malang tadi supaya dijadikan nama desa yang baru dibuka oleh kyai Cagak Aking. Maka jadilah desa tersebut dengan nama Kedungmalang.
Adapun kepala ular tadi jatuh di saluran Sekung yang terletak di sebelah barat desa Kedungmalang. Karena di situ banyak tumbuh pohon pucung yang berderet-deret, maka tempat tersebut diberi nama Pucung Kerep. Dan sampai sekarang pohon pucung tesebut masih dapat dijumpai. Setelah kyai Cagak Aking meninggal dunia dimakamkan di sebelah barat desa Kedungmalang dan oleh masyarakat tempat tersebut sampai sekarang masih dikeramatkan.
DESA SENDANG
Tersebutlah seorang yang berasal dari desa Wonotunggal yang bernama nyai Mogosari. Suatu hari ia mengadakan perjalanan ke selatan dan sampai pada suatu tempat yang ada sumber air (sendang) yang diapit oleh dua pancoran. Oleh kyai Pancoran tempat tersebut diberi nama Sendang Kapit Pancoran. Kemudian nyai Nogosari membuka hutan untuk dijadikan perkampungan yang diberi nama Sendang Larangan. Sendang tersebut diberi nama Sendang Larangan karena tempat tersebut ada larangannya. Konon menurut ceritanya dulu apabila ada orang yang bersalah (pencuri, perampok) pasti akan dapat ditangkap. Namun sekarang penduduk tidak mempercayainya lagi, semuanya diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah desa Sendang Larangan menjadi ramai, nyai Mogosari kembali membuka hutan untuk dijadikan perkampungan lagi. Kampung tersebut karena dibuat terakhir (paling akhir atau anyaran) maka diberi nama Sendang Anyaran.
Setelah masing-masing pedusunan menjadi ramai dan memerlukan pemerintahan yang jelas, maka ketiga dusun tadi dijadikan satu dengan nama desa Sendang. Hal ini mengingat ketiga pedusunan tadi memakai nama Sendang, dan nama Sendang mewakili ketiganya.
DESA WONOTUNGGAL
Konon kabarnya yang pertama membuka hutan Wonotunggal adalah Ki Gede Singosari yang berasal dari Majapahit. Pengikutnya bernama mbah Embo dan mbah Sarinten. Pada jaman dahulu pedukuhan-pedukuhan tersebut masih berdiri sendiri yaitu Sumber, Tegalsari, Siwunut dan Wonotunggal. Kemudian dijadikan satu dengan nama desa Wonotunggal.
Diceritakan pada suatu waktu ada seorang pengembara yang bernama bang Bintulu. Dalam pengembaraannya ia sampai di hutan yang lebat. Di situ ia beristirahat sambil tiduran ia merasakan angin yang semilir/silir-silir dan asri. Kemudian ia berujar kalau suatu saat nanti dan jaman berubah tempat itu menjadi ramai maka diberi nama Tegal Sari (pategalan yang asri).
Sedangkan yang membuka desa Sumber konon kabarnya adalah wali Depok dan membuka desa Siluwok adalah putri Siluwok.
Konon kabarnya di dukuh Silwunut pada setiap bulan Jumadil awal selalu diadakan selamatan desa/nyadren dengan mengadakan pagelaran wayang tersebut Ki dalangnya harus selalu tetap, tidak boleh ganti-ganti. Pernah suatu ketika dalangnya diganti, oleh kejadian tersebut rakyat tidak merasa tenteram. Ada kejadian-kejadian aneh yang selalu menimpa penduduk dengan pergantian dalang tersebut.
DESA BROKOH
Dahulu kala ada seorang wali Ajar yang bernama Ki Ajar Kupang, menurut ceritanya bahwa dalam mengerjakan pekerjaan tidak pernah selesai, hanya satu pekerjaan yang dapat diselesaikan yaitu membuat saluran wura wari. Pernah suatu ketika Ki Ajar Kupang akan membuat masjid, tetapi tidak selesai. Adapun bekas-bekasnya sekarang masih dapat dijumpai yaitu terletak di belakang rumah kepala dusun, yaitu berupa sumber air yang berasal dari kolam yang konon dulu akan dijadikan tempat untuk berwudhu. Sumber air tersebut sekarang digunakan untuk mengairi sawah di sekitarnya.
Daerah Kupang konon kabarnya dulu merupakan hutan jati yang sangat lebat tidak ada pohon lainnya. Setelah dibuka dan dijadikan perkampungan oleh Ki Ajar Kupang, tempat tersebut diberi nama desa Kupang, yang berasal dari nama orang yang membuka hutan tersebut yaitu Ki Ajar Kupang. Makin lama desa Kupang berkembang menjadi desa yang ramai, hingga memerlukan sebuah masjid untuk menjalankan sholat bagi orang-orang Islam yang sudah menjadi anak buah/pengikut Ki Ajar Kupang. Maka suatu hari untuk keperluan pendirian tersebut Ki Ajar Kupang Memerlukan atap untuk masjid. Namun mencari bahan untuk membuat atap di desa Kupang tidak memperoleh. Kemudian Ki Ajar Kupang mencari di daerah lainnya sambil memperluas wilayah desa Kupang. Sampailah pada suatu hari di tempat sebuah bukit kecil yang banyak ditumbuhi oleh tanaman pandan. Oleh anak buahnya daun pandan tadi dijadikan sebagai bahan untuk membuat atap masjid. Karena hanya daerah situ saja yang ada, maka anak buah Ki Ajar Kupang lalu menetap. Kemudian mereka memberi nama daerah tersebut dengan nama Sipandan. Tetapi lambat laun karena logat bicara orang-orang berubah menjadi Sipandak.
Juga diceritakan suatu saat mbah Nompoboyo sesepuh desa Wonotunggal yang mengutus putra angkatnya yang bernama Bromosari utuk memadamkan pemberontakan di suatu tempat. Namun Bromosari kalah sakti dari pimpinan pemberontak tadi dan meninggal dunia. Oleh pengikutnya ia dimakamkan di tempat itu dan kemudian tempat tersebut diberi nama desa Brokoh. Oleh penduduk dipercaya kadang-kadang dapat dijumpai bunyi seekor kuda yang lari dari belakang balai desa tempat Bromosari dimakamkan dengan bunyi gemerincing yang konon membawa pakaian perangnya.
Di desa Kupang dapat ditemui adanya batu gajah yang dipercaya sebagai tunggangan Ki Ajar Kupang. Selain itu juga ada batu ronggeng yang terletak di tepi sungai. Konon kabarnya dulu Ki Ajar Kupang nanggap ronggeng oleh anak buah Ki Ajar Kupang, ronggeng tadi digoda. Karena merasa terganggu dan tidak mau digoda ronggeng tadi melarikan diri, namun di tengah jalan berjumpa dengan Ki Ajar Kupang. Karena Ki Ajar Kupang merasa nanggap padahal pertunjukan belum selesai tetapi ronggeng tadi melarikan diri. Hal ini membuat Ki Ajar Kupang marah-marah dikutuklah ronggeng tadi menjadi batu.
Komentar
Posting Komentar