KALI LOJI DARI HILIR KE HULU, DARI ABAD KE ABAD
Kali loji adalah sebuah sungai yang megalir membelah kota Pekalongan. Orang menyebutnya Sungai Loji karena sungai itu melewati Loji yaitu sebuah gedung penjara yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sungai merupakan urat nadi bagi penduduk Pekalongan sejak zaman dahulu ketika Pekalongan mengalami masa kuno yaitu masa Hindu Jawa kemudian ke masa Islam hingga masa kolonial. Pada masa kolonial, Sungai Loji masih digunakan sebagai sarana lalu lintas yang menghubungkan daerah pedalaman dan daerah pesisir.
Sungai Loji yang mengalir dari pertemuan anak Sungai Retno Sumilir dengan Sungai Kupang di hulu kaki pegunungan Rogojembangan disebut juga Sungai Kupang atau Sungai Masin karena sungai itu melewati Desa Masin. Desa itu disebut-sebut dalam sejarah Hindu Klasik oleh Purbatjaraka dalam menentukan Kerajaan Mo-Ho-Sin atau Hasin. Kerajaan tersebut merupakan kerajaan Hindu di Jawa yang berkembang pada permulaan abad X Masehi.
Pertumbuhan penduduk dan permukiman yang terjadi pada kota Pekalongan tidak telepas dari peranan sungai sebagai sarana lalu lintas. Dalam sejarah kota-kota di Jawa, pola semacam itu merupakan perkembangan lebih lanjut dari permukiman sebelumnya, seperti halnya Sungai Premulung di desa Laweyan Solo. Oleh karena itu, perkembangan pemukiman di Pekalongan dimulai dari hulu Sungai Loji. Tata letak permukiman pada masa Pekalongan Kuno diawali dari daerah hulu sungai karena sungai tersebut telah menghubungkan sejarah permukiman dari masa Pekalongan Kuno (masa Hindu Klasik) sampai dengan Pekalongan sekarang ini yang dimulai pada masa Islam.
A. LETAK GEOGRAFIS
Menurut letak geografisnya, daerah pemukiman pada masa Pekalongan Kuno berupa desa yang mulai berkembang sejak masa neolithik hingga masa Hindu Klasik kurang lebih pada abad VII Masehi dan disebut sebagai Pekalongan Kuno. Adapun Pekalongan pada abad XV Masehi yaitu Pekalongan masa Islam disebut Pekalongan Baru (Pekalongan sekarang ini), permukiman masa kuno disesuaikan dengan perkembangan pantai. Oleh para ahli geologi dari Universitas Gadjah Mada yaitu Ir.Sutoto,SU, berdasarkan penelitian Van Bemmelen tahun 1941 tentang perkembangan pantai Semarang disebutkan sebagai pantai purba.
Bemmelen menyebutkan bahwa dataran alluvial pantai Semarang lebarnya 4 kilometer. Pada lima abad yang lalu, tepi tanjakan desa Candi yaitu pada tepi Bukit Candi yang merupakan sesar / patahan dan berbatasan langsung dengan laut sampai sedalam 100 meter dan di laut inilah Kali Garang bermuara. Sejak itulah terjadi sedimentasi aluvium laut sedalam 100 meter dan ini merupakan pelabuhan yang aman selama berabad-abad. Berdasarkan penampakan citra Landsat dan peta geologi, batas antara pesisir utara Jawa Tengah dengan wilayah Pegunungan Serayu Utara, baik di wilayah Eks-Karesidenan Pekalongan maupun wilayah Eks-Karesidenan Semarang, tampak kelurusan yang diinterprestasikan sebagai sesar atau kekar yang berkembang menjadi lembah yang lebar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pantai di Jawa Tengah pada 500 tahun yang lalu berada pada kedudukan di garis kontur 25 meter dari permukaan laut saat ini.
Dengan demikian, pada 500 tahun yang lalu daerah Slawi di selatan Brebes sudah maju ke arah laut akibat sedimentasi endapan aluvial vulkanik yang bersumber dari Gunung Slamet. Untuk pantai di daerah Doro dan Kedungwuni yang berada di Pekalongan bagian selatan, maju ke arah laut akibat sedimentasi endapan aluvial vulkanik (QT) dari Gunung Rogojembangan.
Sesuai dengan garis pantai purba pada seribu tahun yang lalu, letak pantai berada di daerah Doro dan Kedungwuni. Pada saat itu kedalaman laut dari pantai purba hingga Pekalongan sekarang adalah sekitar 100-150 meter (Ir. Sutoto, SU, Posisi Garis Pantai Permukiman). Kedalaman pantai di Doro dan Gringsing di Batang cukup memungkinkan kapal untuk berlabuh, sehingga menjadikannya pelabuhan tempat bersinggahannya kapal-kapal jung dan perahu cadik, seperti yang digambarkan pada relief Candi Borobudur. Dengan adanya perahu kuno semacam itu, maka Laut Jawa diramaikan oleh arus lalu lintas perdagangan dan kedatangan kaum imigran dari Cina, India, Melayu maupun Keling, yang sengaja mencari kehidupan dan tempat baru di Bumi Jawa.
Sampai denga abad ke-11 nama Pekalongan disebut sebagai Pu-Choa-Lung, sedangkan Chou-Ju-Kua dari naskah Wai-tai-ta pada tahun 1178 Masehi menyebutkan bahwa She-Po (Jawa) adalah nama P’u-Choa-Lang atau Pekalongan (Setyawati Sulaiman, Studi Ekonografi Masa Syailendra di Jawa Tengah). Oleh sebab itu, pada nasa Dinasti Sung diketahui bahwa Pekalongan adalah pelabuhan utama untuk perdagangan Cina.
B. DESA-DESA PEKALONGAN KUNO
Sebelum pantai purba mengalami sedimentasi sehingga membentuk kota pantai seperti Pekalongan sekarang ini, desa-desa kuno yang disebut wanua, sima, thani atau swatantra berada di daerah pegunungan. Desa yang disebut wanua dan desa tingkat swatantra (sima) seperti Wonopringgo, Kajen, Wonotunggal, Petungkriyono, Talun dan Telaga Pakis, merupakan desa-desa kuno dan pada umumnya tidak jauh dari hulu sungai Kupang. Desa-desa tersebut merupakan wilayah merdeka selama tiga abad setelah kekuasaan Wangsa Sanjaya berakhir dan digantikan oleh Wangsa Syailendra. Desa-desa itu tidak dijadikan sasaran pengembangan wilayah oleh raja-raja Mataram Hindu-Jawa Tengah berikutnya. Pusat kekuasaan lebih diarahkan ke daerah pedalaman Jawa Tengan dan Jawa Timur. Namun demikian, adanya pelabuhan kuno di Doro menjadikan daerah ini menciptakan peradaban baru setelah masa pra sejarah yang berlangsung selama puluhan abad.
Ada dua buah desa (wanua) yang telah menjadi sima (daerah swatantra) di Desa Linggo Asri, Telaga Pakis, dan Petungkriyono. Mereka memiliki bangunan suci sebagai tempat peribadatan umat Hindu. Kedua desa tersebut sebagai pusat agama karena ditemukan bukti-bukti peninggalan berupa bangunan pura dan batu pemujaan seperti lingga dan menhir. Pada masa itu, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Pekalongan Kuno berkembangan sangat baik temasuk juga kehidupan keagamaan. Pada umumnya, letak desa-desa tersebut tidak terlalu jauh dengan kawasan percandian Dataran Tinggi Dieng (Indihiyang). Candi-candi tempat pemujaan maupun candi makam di Dieng dianggap sebagai tempat suci para dewa oleh masyarakat Hindu Jawa Kuno dan dihormati oleh kerabat Wangsa Sanjaya.
Sistem kemasyarakatan yang berlaku pada masa Pekalongan Kuno adalah mengikuti struktur kemasyarakatan Jawa pada masa Mataram Hindu. Sebagaian besar perekonomian penduduk tertumpu pada sektor pertanian, sedangkan perdagangan dan kerajinan dikuasai oleh orang asing yaitu Cina dan Keling. Pencetakan sawah untuk menanam padi mengikuti kontur tanah yang cenderung mengarah ke utara. Dalam mebangun sistem pengairan dan pertanian dapat diketahui adanya peninggalan kuno berupa jala dwara (saluran air) di Desa Kaso dan Patung Ganesha yang ditemukan di sawah-sawah pada setiap desa, seperti di Doro, Jolotigo atau Wonotunggal. Patung Ganesha tersebut dianggap oleh masyarakat Hindu sebagai penjelmaan Dewa Syiwa dalam bentuknya sebagai dewa ilmu dan penjaga kelestarian. Sebagaimana halnya nama-nama desa di Jawa Kuno yang pada umumnya sangat berkaitan erat dengan status tanah dan keadaan alam, Linggo Asri dan Telaga Pakis adalah sebuah sima yang di dalamnya terdapat bangunan suci dengan batu lingga dan yoni. Pada mulanya Wonopringgo adalah sebuah wanua (desa) sedangkan Kajen berarti daerah yang dihormati atau milik penguasa / raja (Driwya Haji) dan sebagai daerah yang berstatus sima, maka daerah itu merupakan pencetakan sawah sampai ke utara. Menurut aturan yang berlaku pada masa pemerintahan Jawa Kuno, daerah yang berstatus sima tidak dikenai pajak.
Belum ada sumber prasasti di Pekalongan yang menerangkan bahwa Desa Kajen menjadi daerah swatantra pada masa Pekalongan Kuno yang statusnya ada dalam kekuasaan raja lain dan Desa Kajen berdiri sendiri dan daerah tersebut diperintah oleh pejabat atau penguasa setempat. Hal ini dikarenakan sejak surutnya kekuasaan Sanjaya maupun Syailendra di daerah Jawa, daerah itu lepas dari pengwasan penguasa Hindu-Jawa selama lebih dari tiga abad. Sampai dengan masa colonial, status Kajen masih disebut sebagai tanah lungguh. Pada masa kuno, status lungguh sama dengan watak, yaitu sebuah desa yang mempunyai wilayah tertentu atau menguasai desa lainya selain sebagai sebuah sima, Kajen juga merupakan bandar yang bernama Bandar Guminsang. Sejak tahun 2002. Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan menjadikan Kajen sebagai pusat pemerintahan.
C. STRUKTUR SOSIAL PENDUDUK
Informasi mengenai jumlah penduduk di sebuah desa kuno dapat dikatakan mendekati kebenaran dalam kaitannya dengan daerah Pekalongan. Beberapa prasasti yang ditemukan di Bali yaitu di daerah Buleleng, mungkin bisa dapat dijadikan patokan untuk mengetahui berapa jumlah penduduk sebuah desa kuno do Jawa dan Bali. Berdasarkan Prasasti bila dari Raja Narakatangkaya yang berakhir 1023 Maseh (Goris No.353) menyebutkan bahwa semula jumlah penduduk Bali sebanyak 50 kurn (kepala keluarga) tetapi karena desa tersebut mendapat beban pajak yang berat, maka susut menjadi 10 kurn (mula 50 kurn kwehnya nguni rumuhun ring malama masesataya 10 kurn).
Berdasarkan prasati bila yang memberikan keterangan tentang kependudukan masa lampau tersebut, M. Sukarto, K. Atmodjo menyatakan bahwa diketahui jumlah penduduk desa kuno sebanyak 50 kurn sehingga apabila setiap kurn rata-rata terdiri dari 5 orang yaitu ayah, ibu dan 3 anak, maka jumlah penduduk dapat diperkirakan berjumlah 250 orang. Pada saat ini desa bila terletak di bagian utara Pulau Bali, yaitu bagian selatan Kabupaten Buleleng dana tergolong desa pegunungan (M. Sukarto, K. Atmadjo, Struktur Masyarakat Jawa Kuno pada Mataram Hindu dan Majapit:10)
Perkiraan jumlah penduduk Indonesia pada masa lampau menurut Prof. Mochamad Yamin adalah tidak lebih dari 3000 orang pada abad XIV dan 2000 orang dari jumlah itu berada di jawa. Berdasarkan gambaran penduduk pada masa lampau di Bali dan Jawa tampak bahwa selisihnya tidak terlalu banyak. Terlebih lagi apabila melihat statistic kependudukan di Karesidenan Pekalongan pada akhir masa kolonial tahun 1930. Diperkirakan jumlah penduduk Karesidenan Pekalongan kurang lebih 2,5 juta jiwa (Anton E.Lucas, Peristiwa Tiga Daerah:9)
Dengan demikian, jumlah penduduk Pekalongan Kuno di setiap wanua (desa) adalah 30 sampai 50 jiwa atau lebih sedikit dari pada Bali apabila mengambil perbandingan pada abad IX dan sebelumnya. Pertumbuhan penduduk desa-desa di Pekalongan juga sangat lamban kecuali pada desa yang berstatus sima sebagai wilayah yang membawahi tiga atau empat desa. Berdasarkan survei tahun 2004, jumlah penduduk Desa Linggo Asri yang mayoritas beragama Hindu sekitar 300 kepala keluarga setelah pindah dari desa lama (di sekitar Pura Linggo Asri) ke desa baru (di bawahnya).
Lambannya pertumbuhan penduduk desa di Pekalongan Kuno disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah selama abad VI kedudukan desa dari tingkat sima sampai swatantra telah berdiri sendiri dan terlepas dari kekuasaan kerajaan besar. Bahkan sejak Doro menjadi pelabuhan kuno, Pekalongan tidak pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan.
Faktor lainnya adalah adanya pendangkalan pantai. Sejak terjadinya sedimentasi pantai yang terus bertambah 4-6 meter maju ke utara setiap tahunnya, maka pelabuhan di Doro mengalami pendangkalan dari kedalaman laut semula yang berkisar 100-150 meter. Bahkan pelabuhan tersebut tidak bisa digunakan lagi sampai abad XII. Dahulu sungai Kupang bermuara di pelabuhan kuno di Doro setelah terjadi pendangkalan selama berabad-abad. Selanjutnya, sungai itu mengikuti proses terjadinya daratan dan mengalir sampai pantai Pekalongan yang sekarang.
D. KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN AGAMA
Perkembangan masyarakat Pekalongan Kuno mencerminkan suasana kehidupan percandian. Hal ini berkat jasa-jasa kemakmuran yang diberikan oleh Dinasti Raja Sanna dan kemudian diteruskan oleh putranya yaitu Sanjaya yang merupakan pemegang tampuk pemerintahan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Peninggalan berupa candi-candi besar seperti Borobudur ataupun Prambanan tidak tampak di wilayah dataran tinggi di belahan utara Pegunungan Rogojembangan. Namun demikian, dengan banyaknya peninggalan Hindu yang ada di berbagai tempat di desa kuno di Pekalongan maka hal itu dapat memberikan gambaran bahwa kehidupan keagamaan masyarakat pada waktu itu telah berkembang dengan baik.
Pendudukan bermukim di lembah-lembah sebelah utara daerah Pegunungan Rogojembangan. Masyarakat Pekalongan Kuno disebut juga sebagai orang bawah (wong lembah atau wong ngare). Ngare adalah tanah datar di bawah gunung dan penduduknya bertempat tinggal di daerah yang letaknya lebih rendah, sedangkan daerah gunung yang lebih tinggi adalah Dataran Tinggi Dieng. Sampai sekarang ini istilah “wong lor ngare” masih sering digunakan oleh para penduduk disekitar daerah Bawang, Petungkriyono, dan Silurah Wonotunggal.
Pada umumnya, masyarakat yang hidup di dataran rendah pada masa itu bermata pencaharian sebagai petani tetapi ada juga yang hidup sebagai pedagang. Mobilitas penduduk dalam hubungan antara satu desa dengan desa lain lebih mudah menuju ke daerah selatan daripada ke desa-desa yang berada di bagian utara. Selain sebagai pusat keramaian, daerah dataran tinggi juga dianggap sebagai jalan penghubung antara Bawang dan Dieng Jalan Penghubung itu disebut Jalan “Ondo Rante”.
Sima merupakan sebuah bentuk desa yang lengkap dan terdapat suatu tatanan social yang terdiri dari berbagai tingkatan. Anda kelompok pendeta (P’u) yang memelihara dan merawat bangunan suci, kepala desa (Mathani) bahkan ada juga yang mewakili raja (Bathara) yang disebut Sama Sanak untuk mendapatkan pajak dan pendapatan dari bangunan suci. Selain itu, ada juga penduduk biasa yaitu para petani pengrajin atau pedagang yang disebut astacandala. Secara ekonomis, astacandala memiliki peran melayani kegiatan social keagamaan dan menyediakan barang-barang perlengkapan upacara desa. Dalam upacara Manusuk Sima atau Upacara Peribadatan, para pengrajin (astacandala) juga memiliki kepandaian membuat kain dan membatik.
Kelanjutan dari agama terdahulu yang ada sebelum para pendatang dari India menyebarkan agamanya di tanah Jawa, nampak di daerah tersebut. Di desa kuno seperti di Candi Gedong Desa Telaga Pakis Kecamatan Petungkriyono terdapat peninggalan kuno berupa lingga dan yoni, pahatan naga, serta lapik berbentuk kura-kura. Dalam posisinya sebagai kumpulan benda-benda bersejarah, lingga dan yoni merupakan bagian dari perlengkapan bangunan candi Hindu. Kedua bentuk peninggalan kuno di Desa Telaga Pakis dan Linggo Asri tersebut sudah ada sejak Agama Hindu dan Budha masuk ke daerah tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya permukiman penduduk yang memeluk agama atau kepercayaan yang bersifat animism.
Setelah pengaruh hindu yang dibawa oleh pendatang dari India masuk ke jawa maka terjadilah sinkretisme antara bentuk kepercayaan lama dan baru. Perpaduan dapat berjalan lancar karena tingkat kebudayaan serta toleransi masyarakat cukup tinggi. Pendatang dari India tersebut telah membawa pengaruh berbagai pengembangan bagi kehidupan masyarakat, baik dalam segi agama, kebudayaan, maupun perekonomian. Pada saat yang sama, Agama Hindu yang ada di Jawa telah mengalami sinkretisme dengan Agama Budha yang sama-sama berasal dari India. Hal ini dibuktikan dalam Prasasti Taji Gunung yang berbunyi : “Om Namassiwaja Namo Budhaya”, artinya bakti kepada Dewa Siwa dan Budha.
Meskipun dipusat kerajaan mataram kuno para raja memeluk kedua agama, kepercayaan yang berlaku pada masyarakat kuno di Pekalongan adalah sinkretisme antara Agama Hindu dengan kepercayaan Animisme. Agama Budha berkembang sendiri dan jumlahnya lebih sedikit daripada Agama Hindu. Banyak bangunan suci yang masih sederhana serta arca-arca berlanggam klasik awal di Jawa, seperti Arca Ganesha yang terdapat di Desa Jolotigo dan Pekalongan serta Arca Gajah di Desa Brokoh, Kecamatan Wonotunggal, Batang. Sinkretisme Hindu-Animisme yang tumbuh subur menimbulkan berbagai aliran dan kepercayaan termasuk Aliran Tantrayana dan Bahirawa.
E. DAERAH MERDEKA
Terjadinya daerah merdeka di wilayah Pekalongan Kuno merupakan akibat dari faktor alam dan politik. Pada setiap periode kekuasaan di jawa tengah mengalami pergolakan sehingga mempengaruhi pasang surut pengembangan daerah. Pada paruh abad VIII yaitu saat runtuhnya Kerajaan Mataram-Jawa Tengah kemudian pindah ke Jawa Timur, dapat dikatakan bahwa daerah tersebut menjadi otonom dan kembali menjadi kerajaan kecil yang merdeka. Menurut sumber sejarah Tiongkok para periode Dinasti Tang yang tertulis pada tahun Saka 828 atau 918 Masehi, dalam buku Tuen-Shi-Lei Pin disebutkan bahwa perpindahan kekuasaan Mataram Kuno di Jawa Timur terjadi sekitar tahun 667 Saka atau 755 Masehi.
Berdasarkan runtuhnya kerajaan mataram kuno di jawa tengah, sebuah kronik yang tertulis oleh Amin Budiman dalam sejarah semarang dengan mengutip sebuah sumber menyebutkan bahwa pada mulanya Mataram merupakan kerajaan kecil tetapi lambat laun Mataram menjadi dasar karena menaklukan beberapa kerajaan kecil dan selanjutnya dipaksa bernaung dibawah paying mataram. Mereka lebih suka hidup miskin tetapi merdeka di keratin sendiri daripada hidup mewah di bawah telapak maharaja. Kelemahan maharaja menyebabkan kerajaan besar runtuh dan daerah Mataram pun terpecah belah menjadi kerajaan kecil seperti semula. Akhirnya, lenyaplah Mataram hanya cita-cita kebesaran Mataram saja yang masih bergelora di Sriwijaya dan Jawa.
Tafsir yang disampaikan oleh Prof. Purbatjaraka tentang Prasasti Airlangga yang berangkat tahun Saka 956 atau 1032 Masehi, sangatlah menarik. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa raja arilangga menghadiahkan desa baru kepada para penduduk sebagai tanda terima kasih atas sambutan diterimanya ketika bermalam di desa tersebut sehingga dia berhasil menaklukan musuhnya yang berada di desa Hasin. “Prof. Purbatjaraka menafsirkan bahwa toponim Hasin yang disamakan dengan Kerajaan Mo-Ho-Sin oleh Berita Cina, berada di Jawa Tengah yaitu di Desa Hasin yang sekarang dan berubah nama menjadi Masin. Desa Masin yang berada di wilayah kecamatan warung asem itu di lalui oleh sungai loji (kupang). Sungai tersebut menjadi batas wilayah antara kabupaten Batang dengan Kabupaten Pekalongan.
BAB II
KAIN DAN BATIK KUNO
Dalam bentuknya yang sederhana, pemakaian kain pada masa lampau merupakan salah satu sarana untuk menutupi bagian tubuh. Bersamaan dengan proses pembudayaan dan tingkat kebutuhan. Fungsi dari pemakaian kain berkembang menjadi pelengkap keindahan maupun symbol untuk perhajatan terhadap Tuhan yang disembah. Penggunaan kain pada jaman Indonesia-hindu di jawa dilakukan menurut kebutuhannya dan untuk melengkapi keindahan dibuatlah sejenis kain ikat pinggul yang diberi nama uncal, sampur dan bira. Kain yang sesuai dengan tingkat derajat pemakaiannya digunakan untuk upacara keagamaan dan upacara manusuk sima. Kain-kain itu terdiri dari beberapa jenis, misalnya kain kaliyaga, jaro, pinilai, rangga, bira, atamaraksa, dan sebagainya. Barang-barang semacam itu dinamakan pasak-pasak. Hadiah tersebut tidak selalu datang dari raja tetapi bisa juga diberikan oleh pejabat bawahan seperti kepala desa kepada raja atau rakyat.
Pada Prasasti Poh disebutkan bahwa para ketua desa dan orang-orang tua di Poh mempersembahkan kain jenis jaro kepada Sri Maharaja. Selain itu, kain jenis jaro beserta emas sebanyak 5 suwarno (gram) diberikan kepada nenek raja dalam jumlah yang sama. Selanjutnya, satu stel kain jenis kaliyaga dan emas sebanyak 4 suwarno diberikan kepada Rakyanapatih. Suatu ketika kepada pejabat tinggi lainnya juga diberikan kain jenis kaliyaga dan emas 1 suwarno. Kain jenis kaliyaga dan jaro merupakan kain pilihan yang pantas untuk raja atau orang yang berderajat tinggi, sedangkan jenis kain untuk rakyat biasa dan para wanita adalah jenis pinilai. Apabila melihat tingkat sosial pemakai kain pinilai adalah golongan rendah, maka bisa dikatakan kain tersebut, ada juga nama wdihan yang berarti kain untuk laki-laki yang disebut bebed dan kain perempuan disebut tapih.
A. PERAN ASTACANDALA
Masyarakat di beberapa tempat di desa-desa jawa maupun Pekalongan kuno sudah terbiasa memakai tapih dan bebed, sedangkan anak-anak memakai jenis kain rangga. Pemakaian kain jenis bebed maupun tapih tidak saja putih polos sesuai aslinya , tetapi diberi warna serta ragam hias dengan cara membatik utuk menambah keindahan serta tujuan tertentu dan dibuat oleh golongan pengrajin yang disebut astacandala. Meskipun para astacandala terdiri dari golongan rakyat biasa, mereka mendapat tempat atau kedudukan yang dihormati karena kepandaiannya oleh para Pu atau pendeta. Kain batik tersebut selain dibuat untuk bebed atau tapih, juga dipakai sebagai benda pelengkap upacara keagamaan. Batik dengan hiasan dan warna tertentu dipakai sebagai alas tempat sesaji dalam pura.
Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa aliran / sekte agama hindu dan budha, baik penyembah dewa siwa yang disebut siwastra maupun aliran bahirawa dan tantrayana telah berkembang dalam kehidupan keagamaan hindu-budha pasca kekuasaan mataram-hindu di pekalongan kuno. Aliran siwastra juga disebut aliran saiwapaksa dengan lambing berupa senjata panah dewa siwa.
Ada suatu tradisi larung yang disebut “Nyadran” yaitu mengupahkan pembuatan kain batik kepada seorang dukun bayi agar anaknya sembuh dari penyakitnya. Pada upacara nyadran besar yang diadakan setahun sekali saat selamatan seren taun, masyarakat desa di daerah pegunungan maupun pantai menyertakan kain batik dengan pola tertentu untuk ikut dilarung di laut. Menurut Sukarto K. Atmodjo, tradisi semacam itu merupakan sisa-sisa peninggalan masa Hindu-Jawa Tengah pada abad IX atau X masehi. Dengan demikian, batik pada masa lampau dengan ragam hias yang mengandung kepercayaan.oleh karena itu, kedudukan kain batik sangat disakralkan karena dianggap memiliki sifat magis.
Secara ekonomis, batik pada masa lampau belum menunjukan sebagai barang yang diperdagangkan. Pemakaian kain berpola masih terbatas digunakan oleh kalangan masyarakat tertentu, seperti para brahmana dan pendeta. Para raja dan keluarganya lebih banyak menerima hadiah kain bercorak atau sulaman dengan hiasan tertentu seperti halnya tenun patola dari india (pantai gujarat) atau Thailand yang dibuat dengan teknik tenun ganda. Oleh karena kain-kain tersebut mahal dana semakin langka sehingga sulit dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, maka golonan astacandala membuat kain dengan ragam hias yang sama namun dengan teknik berbeda yaitu teknik batik. Itulah pertama kali pembuatan kain dengan ragam hias batik dimulai.
B. RAGAM HIAS BATIK KUNO
Secara umum, perkembangan ragam hias batik kuno pertama kali diilhami dari bentuk ragam hias pahatan tiga dimensi yang terdapat pada relief candi maupun hiasan arca. Kedua adalah bentuk tumbuh-tumbuhan (flora) dan binatang (fauna) seperti sulur-sulur daun, bunga, ikan, burung, dan singa. Adapun yang ketiga adalah bentuk garis atau bidang berbentuk geometris yang mengandung lambang tanda perhitungan hari dan bulan serta bentuk bangun tertutup berupa garis-garis, segitiga, setengah bulatan, bulatan-bulatan, atau yang lainnya. Bentuk segitiga atau bulatan, bentuk ikal, dan garis gelombang dikenal sebagai ragam hias pilin, meander, dan swastika. Ragam hiasa seperti itu sebenarnya sudah hadir dan sudah umu pada masa prasejarah, khususnya pada jaman perunggu. Peninggalan nenek moyang berupa batu kubur di pulau sumbah telah menggunakan ragam hias semacam itu.
Ragam hias segitiga adalah ragam hias yang dalam istilah jawa disebut “tumpal” dan maknanya lambang kekuasaan. Beberapa sumber menyebutkan ragam hias tersebut berasal dari india dan merupakan stilirisasi gigi buaya sebagai lambing penolak bala. Ragam hias segitiga pada batik terdapat pada sarung, kain kepala (pada ujung kanan dan kiri kain) serta kain stengah kepala (1 ujung saja yang mempunyai ragam hias segitiga). Ragam hias “tumpal” banyak dipakai untuk hiasan bagian kepala (jakata makuto) arca. Pohon hayat yang disebut kapaltaru membentuk sulur daun yang dijaga oleh naga juga dipakai oleh ragam hias “tumpal”.
Ada beberapa pola batik pada masa hindu kuno dijawa, antara lain pola kawong, tumpal, ceplokan. Padmasabha, dan sebagainya. Semuanya itu menjadi dasar bentuk pola-pola ragam hias batik. Pola semacam itu bersumber dari lingkaran candi, sedangkan untuk pola kawong, tumpal, ceplokan dipengaruhi oleh bentuk ragam hias yang terdapat pada hiasan kubur batu pada masa prasejarah. Masing-masing ragam hias memiliki ragam seni, dan makna perlambangan yang secara bersinambungan dapat menyatu menjadi sebuah hiasan kuno. Pada masa lampau, kerejaan yang pada waktu itu berada di pemerintahan mataram kuno. Penggunaan dan pembuatan batik terus belrkangsung hingga abad XII setelah kekuasaan mataram hindu pindah ke jawa timur dan menjelang keruntuhannya pada abad XVI.
Ragam hias yang menjadi ragam batik terus dikembangkan oleh keluarga didalam kraton sampai dengan periode mataram baru pada abad XVI masehi dan kesakralannya dijadikannya sebagai symbol status suatu jabatan. Meskipun masyarakat saat itu membuat batik, baik untuk pelengkap sarana upacara maupun dipakai sebagai busana dalam pengembangannya masih ketinggalan apabila dibandingkan dengan batik-batik yang dibuat di daerah pedalaman dan pusat kerajaan.
C. BATIK PEKALONGAN KUNO
Berdasarkan penelitian pada beberapa batik yang terdapat di dua desa yaitu desa deles,kecamatan bawang,kabupaten batang dan desa lebak barang di kabupaten pekalongan,terdapat indikasi bahwa batik di kedua desa tersebut menunjukkan pola batik pekalongan kuno.batik yang dikeramatkan milik seorang dukun di desa deles berupa kain dengan ukuran 60×80 centimeter dengan warna dasar putih dan biru tua. Nampaknya batik tersebut bukan digunakan sebagai busana ataupun kain ikat tetapi kemungkinan besar digunakan untuk tempat sesaji jika melihat polanya yang amat sederhana. Pola batik itu terdiri dari tiga bidang dengan garis pinggir berbentuk padmasana dan garis ratna sambawa sedangkan pada bagian tengah batik tersebut terdapat ragam hias bulatan dan ukel yang menunjukkan bahwa teknik pembuatannya dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah membuat bidang pemisahan warna yang dilakukan dengan teknis celup rintang dengan cara ikat,sedangkan pada pembuatan ragam hias bulatan,ukel dan garis ratna sambawa dengan menggunakan jegul yaitu alat yang menyebar sampai ke daerah Banjarnegara dan desa-desa di wilayah Banyumas,selain teknik pembuatan batik lain yang juga berkembang di daerah-daerah tersebut,yaitu teknik yang berasal dari dalam tembok keraton Mataram.
Teknik semacam itu ditemukan pada Batik Banyumas yang dibuat oleh bapak Bandi dari Kebumen yang telah menjadi koleksi Keluarga Lusiana Ong sejak tahun 1925 dan sekarang berada di Museum Batik Yogyakarta. Penggunaan lilin daun sebagai bahan perintang warna adalah suatu cara yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat kuno dalam membatik. Cara itu dilakukan sebelum ditemuk dengaannya bahan lilin tawon dan lemak. Para Pu (pendeta) telaj mengajarkan cara membatik kepada masyarakat berdasarkan pengalam dalam mempelajari kitab-kitab selama di india. Meskipun lilin daun tidak digunakan lagi setelah ditemukannya lilin tawon, tetapi beberapa abad kemudian yaitu sekitar tahun 1830,pengusaha batik dari Cilacap ataupun Banyumas kembali menggunakan lilin daun dalam membuat batik.
D. WARNA BAHAN ALAM
Perwarnaan dilakukan dengan menggunakan warna-warna alam seperti warna biru yang diperoleh dari daun pohon nila atau warna merah yang dapat diperoleh dari akar pohon mewengkudu (mengkudu).Warna coklat tua dapat diperoleh dari kulit kayu tegeran dan kulit kayu soga,sedangkan warna kuning dengan cara mencampurkan cairan umbi kunyit atau kayu tegeran dengan sari kuning. Semua pewarnaan tersebut dilakukan dengan cara celup. Meskipun banyak warna dapat diperoleh dari bahan alam, pewarnaan batik pada masa Pekalongan Kuno hanya menggunakan dua jenis warna. Pada umumnya, warna yang digunakan adalah biru dan putih yang merupakan warna dasar kecuali pada pewarnaan Batik Jelamprang. Untuk memperoleh warna biru kehitaman menggunakan campuran warna soga dan kulit kayu tegeran.
Para pembatik pada masa Pekalongan Kuno menggunakan warna alam tersebut sampai adanya pengaruh batik bercorak Cina. Mereka menggunakan bahan warna kimia ( indigosol ) yang didatangkan dari Cina dan India. Pada masa-masa berikutnya, pengrajin batik di Pekalongan masih menggunakan bahan warna alam seperti warna-warna yang diperoleh dari kulit soga. Namun demikian, lambat laun pewarnaan dengan menggunakan bahan alam tersebut tidak digunakan lagi dan beralih kepada pewarna kimia karena mudah dalam penggunaannya.
BAB IV
BATIK PESISIRAN
Abad XV dan XVI masehi merupakan abad pembaruan bagi masyarakat jawa. Pada periode kerajaan demak sampai paruh abad XVI, seni kerajinan batik mulai dikembangkan bersamaan dengan tumbuhnya seni bangunan. Hal yang membedakan antara seni kerajinan batik dengan seni bangunan terletak pada teknik dan penggunaan bahan. Dalam hal ragam hias, seni kerajinan batik mendapat ilham dari bangunan suci ataupun keraton. Demikian pula halnya dalam hal pengembangan konsep.
Pada konsep bangunan jawa-hindu yang telah bertahan dan dilakukan setelah konversi islam, menurut M.C. Ricklefs hal itu mencerminkan adanya keseimbangan cultural yang berhubungan antara jawa kuno dan jawa modern. Alasan tersebut sangat masuk akal setelah melihat latar belakang bahwa kerajaan-kerajaan islam berikutnya adalah pewaris budaya hindu dan majapahit yang selanjutnya mereka adaptasikan dalam kejeniusan tersendiri. Runtuhnya majapahit mungkin meninggalkan kekacauan sekaligus perubahan-perubahan antara lain berupa inspirasi local dalam aktualitas cultural. Puing-puing reruntuhan dalam bentuk bangunan masih dipelihara dan dipertahankan di kota-kota kerajaan islam seperti demak, Cirebon, maupun Surabaya. Bentuk-bentuk hasil seni termasuk bangunannya, telah mencontoh majapahit. Pesan kultural itu disampaikan dalam Babad Demak oleh para wali yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
“Sebaiknya Paman terung
Merupakan barang-barang yang ditinggal
Sunan Kudus memerintahkan
Semua orang islam yang kembali ke Bonang
Dengan memboyong Paseban, Pajeksan Majapahit
Untuk membangun serambi Mekkah
Di Demak……..”
“Keraton Demak itu hendaknya
tetap seperti Keraton Majapahit
Besok setelah Tuan menjadi Raja
Berbuat baiklah dengan sesame orang…..”
(Kalimat di atas diucapkan oleh Sunan Bonang kepada Raden Patah saat tentaranya kembali dari Majapahit ke Demak).
Pada suatu sisi, runtuhnya kerajaan majapahit lebih tertuju pada konflik keagamaan baru dan lama. Menurut M.C. Ricklefs, hal ini menyebabkan peran para wali menjadi tidak jelas dalam proses historis sehingga membawa keruntuhan majapahit. Namun demikian, tidak bisa dibantah lagi suatu kenyataan bahwa mereka memiliki otoritas duniawi maupun spiritual. Tangan-tangan terampil para ahli Tionghoa yang sebelumnya sudah memberikan corak selama proses perjalanan budaya yang berlangsung di majapahit, mungkin lebih berperan dalam perubahan itu. Dengan demikian, ketika perubahan itu terjadi,mereka siap beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dari sinilah sebenarnya ragam hias yang mengikuti pola lama seperti yang mereka terapkan pada masa Majapahit dan selanjutnya dipoles dengan nafas Konfusius mulai berkembang.
A. TIMBULNYA BATIK PESISIRAN
Pertumbuhan seni kerajinan batik yang ditentukan oleh pola,warna,dan ragam hias itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan jaman. Masa Demak adalah masa orientasi budaya keraton bercorak islam yang berasal dari lingkungan masyarakat pesisir utara Jawa. Konsepsi Islam memberikan ruang terciptanya suatu identitas yang mengacu pada bangunan suci seperti masjid,atau makam. Suatu hal yang spesifik bahwa ragam hias pada masa Hindu- Jawa tengah sampai jaman Majapahit merupakan ragam hias yang sudah baku bertolak pada bangunan keraton dan candi. Ragam hias lama seperti tumpal, ukel,kawung dan sulur daun, masih terpahat pada ukiran pintu dan panil-panil tiang Masjid Demak.
Demikian pula halnya deagan warna-warna yang menghiasi keseluruhan bangunan. Warna hijau,merah,serta kuning emas telah menunjukkan corak yang khas sebagai prototype warna bangunan Keraton Majapahit yang pernah ditangani oleh Tionghoa pada abad XIV. Sesuatu yang sangat spesifik adalah corak bangunan dan hiasannya yang menampilkan warna-warna cina. Hal itu menandakan adanya persamaan persepsi tentang kedua unsure budaya yang berkembang pada masa Hindu Konfusius ke dalam Islam.Munculnya pola meander dan pilin ke dalam bentuk ragam hias Pra Islam adalah suatu bagian dari bentuk stilirisasi (yang disesuaikan) dengan corak yang berkembang saat itu. Oleh karenanya, hiasan medallion yang menempel pada hiasan Masjid Mantingan di Makam Ratu Kalinyamat, Jepara, telah disamarkan dalam bentuk Arabiksi. Ragam hias daun atau sulur rambat seperti daun teratai dan bentuk eceng-ecengan pada hiasan Masjid Mantingan juga terlihat diterapkan dalam batik yang disebut corak “Demakan”.
Stilirisasi pola pada Batik Pesisiran yang mendapat pengaruh dari lingkungannya tidak saja bersumber dari masjid atau makam tetapi juga dari lingkungan alam. Pola yang disebut “kapal kandas” pada Batik Rembang dan “tritis” pada Batik Lasem adalah salah satu contoh diantara batik dari kedua daerah itu yang diperkirakan berkembang pada awal abad XVI dan XVII masehi. Batik “kapal kandas” mewakili kota pada saat kota yang bersangkutan merupakan kota pelabuhan. Stilirisasi bentuk ragam hias perahu pecaling, ombak-ombak laut, dan gunung yang dilengkapi dengan ragam hias sulur rambat telah diekspresikan dengan media lilin pada kain sehingga terbentuklah sebuah lukisan klasik anonym yaitu batik. Pada pola batik itu, sekilas dapat memberikan petunjuk adanya sejarah kota di pesisir utara jawa pada pertengahan abad XVI dan XVII masehi. Jepara, demak, dan tuban disebut sebagai wilayah sandang garba “raja kaum pedagang”. Sebutan itu mengindikasikan bahwa pada jaman duhulu kota-kota tersebut merupakan kota pelabuhan yang sangat penting. Kata “sandang” sudah menunjukan adanya perdagangan pakaian yang berjalan seiring dengan perdagangan beras yang menjadi primadona pada masa itu. Meskipun kapasitasnya tidak terlalu besar, pedagang cina-rembang telah memanfaatkan pembuatan batik sebagai barang kaomoditi. Penyebaran batik pesisiran dari kota-kota di jawa pada masa demak dan sesudahnya, berkembang sejak hubungan berdagang lalau lintas antar pulau berlangsung. Pada tahun 1614 penguasaan wilayah oleh raj-raja mataram pada tahun itu lebih cenderung kearah bagian timur sampai pulau Madura, Bali, dan Lombok.
Orientasi ragam hias pada batik Madura mengacu pada perkembangan ragam hias batik jawa. Namun demikian, berbagai pengaruh ragam hias local pada makam raja-raja Tjakraningrat juga kita dapati sebagai sumber inspirasi bagi pembatik Madura. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pada masa itu kerajaan mataram menjangkau pulau Madura hingga ujung timur dan bukti peninggalannya dapat kita lihat di keraton sumenep. Objek flora dan fauna seperti salur rambat, salur gelung, ombat laut, mega mendung, gunung, dan jenis binatang seperti garuda, singa, dan banteng, yang terbingkai dalam bentuk medallion telah memberikan aksentuasi secara samar-samar sebagai kelengkapan ragam hias lama yang lahir pada masa pra sejarah dan masa hindu-jawa tengah seperti pola kawun, ceplokan, maupun hias ukel dan tumpal.
Selain batik Madura dan pekalongan dengan warna-warni yang sangat mencolok, batik-batik di pesisir utara jawa seperti demak, rembang, dan lasem, hamper semuanya menunjukan warna yang jelas warna klasik soga, nila dan mengkudu yang mendapatkan warna tambahan kuning dan hijau. Pada awalnya warna tersebut selalu diperoleh dari bahan pewarna alam. Akhirnya, pola batik pesisiran adalah sebuah adaptasi dari pola lama yang berasal dari batik pedalaman / keraton yang digabung denganstilirisasi pola baru setelah terjadinya konversi islam di jawa serta pengaruh ragam hias dari kaum pendatang manca Negara seperti cina, india, arab, dan belanda
Sungai Loji yang mengalir dari pertemuan anak Sungai Retno Sumilir dengan Sungai Kupang di hulu kaki pegunungan Rogojembangan disebut juga Sungai Kupang atau Sungai Masin karena sungai itu melewati Desa Masin. Desa itu disebut-sebut dalam sejarah Hindu Klasik oleh Purbatjaraka dalam menentukan Kerajaan Mo-Ho-Sin atau Hasin. Kerajaan tersebut merupakan kerajaan Hindu di Jawa yang berkembang pada permulaan abad X Masehi.
Pertumbuhan penduduk dan permukiman yang terjadi pada kota Pekalongan tidak telepas dari peranan sungai sebagai sarana lalu lintas. Dalam sejarah kota-kota di Jawa, pola semacam itu merupakan perkembangan lebih lanjut dari permukiman sebelumnya, seperti halnya Sungai Premulung di desa Laweyan Solo. Oleh karena itu, perkembangan pemukiman di Pekalongan dimulai dari hulu Sungai Loji. Tata letak permukiman pada masa Pekalongan Kuno diawali dari daerah hulu sungai karena sungai tersebut telah menghubungkan sejarah permukiman dari masa Pekalongan Kuno (masa Hindu Klasik) sampai dengan Pekalongan sekarang ini yang dimulai pada masa Islam.
A. LETAK GEOGRAFIS
Menurut letak geografisnya, daerah pemukiman pada masa Pekalongan Kuno berupa desa yang mulai berkembang sejak masa neolithik hingga masa Hindu Klasik kurang lebih pada abad VII Masehi dan disebut sebagai Pekalongan Kuno. Adapun Pekalongan pada abad XV Masehi yaitu Pekalongan masa Islam disebut Pekalongan Baru (Pekalongan sekarang ini), permukiman masa kuno disesuaikan dengan perkembangan pantai. Oleh para ahli geologi dari Universitas Gadjah Mada yaitu Ir.Sutoto,SU, berdasarkan penelitian Van Bemmelen tahun 1941 tentang perkembangan pantai Semarang disebutkan sebagai pantai purba.
Bemmelen menyebutkan bahwa dataran alluvial pantai Semarang lebarnya 4 kilometer. Pada lima abad yang lalu, tepi tanjakan desa Candi yaitu pada tepi Bukit Candi yang merupakan sesar / patahan dan berbatasan langsung dengan laut sampai sedalam 100 meter dan di laut inilah Kali Garang bermuara. Sejak itulah terjadi sedimentasi aluvium laut sedalam 100 meter dan ini merupakan pelabuhan yang aman selama berabad-abad. Berdasarkan penampakan citra Landsat dan peta geologi, batas antara pesisir utara Jawa Tengah dengan wilayah Pegunungan Serayu Utara, baik di wilayah Eks-Karesidenan Pekalongan maupun wilayah Eks-Karesidenan Semarang, tampak kelurusan yang diinterprestasikan sebagai sesar atau kekar yang berkembang menjadi lembah yang lebar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pantai di Jawa Tengah pada 500 tahun yang lalu berada pada kedudukan di garis kontur 25 meter dari permukaan laut saat ini.
Dengan demikian, pada 500 tahun yang lalu daerah Slawi di selatan Brebes sudah maju ke arah laut akibat sedimentasi endapan aluvial vulkanik yang bersumber dari Gunung Slamet. Untuk pantai di daerah Doro dan Kedungwuni yang berada di Pekalongan bagian selatan, maju ke arah laut akibat sedimentasi endapan aluvial vulkanik (QT) dari Gunung Rogojembangan.
Sesuai dengan garis pantai purba pada seribu tahun yang lalu, letak pantai berada di daerah Doro dan Kedungwuni. Pada saat itu kedalaman laut dari pantai purba hingga Pekalongan sekarang adalah sekitar 100-150 meter (Ir. Sutoto, SU, Posisi Garis Pantai Permukiman). Kedalaman pantai di Doro dan Gringsing di Batang cukup memungkinkan kapal untuk berlabuh, sehingga menjadikannya pelabuhan tempat bersinggahannya kapal-kapal jung dan perahu cadik, seperti yang digambarkan pada relief Candi Borobudur. Dengan adanya perahu kuno semacam itu, maka Laut Jawa diramaikan oleh arus lalu lintas perdagangan dan kedatangan kaum imigran dari Cina, India, Melayu maupun Keling, yang sengaja mencari kehidupan dan tempat baru di Bumi Jawa.
Sampai denga abad ke-11 nama Pekalongan disebut sebagai Pu-Choa-Lung, sedangkan Chou-Ju-Kua dari naskah Wai-tai-ta pada tahun 1178 Masehi menyebutkan bahwa She-Po (Jawa) adalah nama P’u-Choa-Lang atau Pekalongan (Setyawati Sulaiman, Studi Ekonografi Masa Syailendra di Jawa Tengah). Oleh sebab itu, pada nasa Dinasti Sung diketahui bahwa Pekalongan adalah pelabuhan utama untuk perdagangan Cina.
B. DESA-DESA PEKALONGAN KUNO
Sebelum pantai purba mengalami sedimentasi sehingga membentuk kota pantai seperti Pekalongan sekarang ini, desa-desa kuno yang disebut wanua, sima, thani atau swatantra berada di daerah pegunungan. Desa yang disebut wanua dan desa tingkat swatantra (sima) seperti Wonopringgo, Kajen, Wonotunggal, Petungkriyono, Talun dan Telaga Pakis, merupakan desa-desa kuno dan pada umumnya tidak jauh dari hulu sungai Kupang. Desa-desa tersebut merupakan wilayah merdeka selama tiga abad setelah kekuasaan Wangsa Sanjaya berakhir dan digantikan oleh Wangsa Syailendra. Desa-desa itu tidak dijadikan sasaran pengembangan wilayah oleh raja-raja Mataram Hindu-Jawa Tengah berikutnya. Pusat kekuasaan lebih diarahkan ke daerah pedalaman Jawa Tengan dan Jawa Timur. Namun demikian, adanya pelabuhan kuno di Doro menjadikan daerah ini menciptakan peradaban baru setelah masa pra sejarah yang berlangsung selama puluhan abad.
Ada dua buah desa (wanua) yang telah menjadi sima (daerah swatantra) di Desa Linggo Asri, Telaga Pakis, dan Petungkriyono. Mereka memiliki bangunan suci sebagai tempat peribadatan umat Hindu. Kedua desa tersebut sebagai pusat agama karena ditemukan bukti-bukti peninggalan berupa bangunan pura dan batu pemujaan seperti lingga dan menhir. Pada masa itu, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Pekalongan Kuno berkembangan sangat baik temasuk juga kehidupan keagamaan. Pada umumnya, letak desa-desa tersebut tidak terlalu jauh dengan kawasan percandian Dataran Tinggi Dieng (Indihiyang). Candi-candi tempat pemujaan maupun candi makam di Dieng dianggap sebagai tempat suci para dewa oleh masyarakat Hindu Jawa Kuno dan dihormati oleh kerabat Wangsa Sanjaya.
Sistem kemasyarakatan yang berlaku pada masa Pekalongan Kuno adalah mengikuti struktur kemasyarakatan Jawa pada masa Mataram Hindu. Sebagaian besar perekonomian penduduk tertumpu pada sektor pertanian, sedangkan perdagangan dan kerajinan dikuasai oleh orang asing yaitu Cina dan Keling. Pencetakan sawah untuk menanam padi mengikuti kontur tanah yang cenderung mengarah ke utara. Dalam mebangun sistem pengairan dan pertanian dapat diketahui adanya peninggalan kuno berupa jala dwara (saluran air) di Desa Kaso dan Patung Ganesha yang ditemukan di sawah-sawah pada setiap desa, seperti di Doro, Jolotigo atau Wonotunggal. Patung Ganesha tersebut dianggap oleh masyarakat Hindu sebagai penjelmaan Dewa Syiwa dalam bentuknya sebagai dewa ilmu dan penjaga kelestarian. Sebagaimana halnya nama-nama desa di Jawa Kuno yang pada umumnya sangat berkaitan erat dengan status tanah dan keadaan alam, Linggo Asri dan Telaga Pakis adalah sebuah sima yang di dalamnya terdapat bangunan suci dengan batu lingga dan yoni. Pada mulanya Wonopringgo adalah sebuah wanua (desa) sedangkan Kajen berarti daerah yang dihormati atau milik penguasa / raja (Driwya Haji) dan sebagai daerah yang berstatus sima, maka daerah itu merupakan pencetakan sawah sampai ke utara. Menurut aturan yang berlaku pada masa pemerintahan Jawa Kuno, daerah yang berstatus sima tidak dikenai pajak.
Belum ada sumber prasasti di Pekalongan yang menerangkan bahwa Desa Kajen menjadi daerah swatantra pada masa Pekalongan Kuno yang statusnya ada dalam kekuasaan raja lain dan Desa Kajen berdiri sendiri dan daerah tersebut diperintah oleh pejabat atau penguasa setempat. Hal ini dikarenakan sejak surutnya kekuasaan Sanjaya maupun Syailendra di daerah Jawa, daerah itu lepas dari pengwasan penguasa Hindu-Jawa selama lebih dari tiga abad. Sampai dengan masa colonial, status Kajen masih disebut sebagai tanah lungguh. Pada masa kuno, status lungguh sama dengan watak, yaitu sebuah desa yang mempunyai wilayah tertentu atau menguasai desa lainya selain sebagai sebuah sima, Kajen juga merupakan bandar yang bernama Bandar Guminsang. Sejak tahun 2002. Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan menjadikan Kajen sebagai pusat pemerintahan.
C. STRUKTUR SOSIAL PENDUDUK
Informasi mengenai jumlah penduduk di sebuah desa kuno dapat dikatakan mendekati kebenaran dalam kaitannya dengan daerah Pekalongan. Beberapa prasasti yang ditemukan di Bali yaitu di daerah Buleleng, mungkin bisa dapat dijadikan patokan untuk mengetahui berapa jumlah penduduk sebuah desa kuno do Jawa dan Bali. Berdasarkan Prasasti bila dari Raja Narakatangkaya yang berakhir 1023 Maseh (Goris No.353) menyebutkan bahwa semula jumlah penduduk Bali sebanyak 50 kurn (kepala keluarga) tetapi karena desa tersebut mendapat beban pajak yang berat, maka susut menjadi 10 kurn (mula 50 kurn kwehnya nguni rumuhun ring malama masesataya 10 kurn).
Berdasarkan prasati bila yang memberikan keterangan tentang kependudukan masa lampau tersebut, M. Sukarto, K. Atmodjo menyatakan bahwa diketahui jumlah penduduk desa kuno sebanyak 50 kurn sehingga apabila setiap kurn rata-rata terdiri dari 5 orang yaitu ayah, ibu dan 3 anak, maka jumlah penduduk dapat diperkirakan berjumlah 250 orang. Pada saat ini desa bila terletak di bagian utara Pulau Bali, yaitu bagian selatan Kabupaten Buleleng dana tergolong desa pegunungan (M. Sukarto, K. Atmadjo, Struktur Masyarakat Jawa Kuno pada Mataram Hindu dan Majapit:10)
Perkiraan jumlah penduduk Indonesia pada masa lampau menurut Prof. Mochamad Yamin adalah tidak lebih dari 3000 orang pada abad XIV dan 2000 orang dari jumlah itu berada di jawa. Berdasarkan gambaran penduduk pada masa lampau di Bali dan Jawa tampak bahwa selisihnya tidak terlalu banyak. Terlebih lagi apabila melihat statistic kependudukan di Karesidenan Pekalongan pada akhir masa kolonial tahun 1930. Diperkirakan jumlah penduduk Karesidenan Pekalongan kurang lebih 2,5 juta jiwa (Anton E.Lucas, Peristiwa Tiga Daerah:9)
Dengan demikian, jumlah penduduk Pekalongan Kuno di setiap wanua (desa) adalah 30 sampai 50 jiwa atau lebih sedikit dari pada Bali apabila mengambil perbandingan pada abad IX dan sebelumnya. Pertumbuhan penduduk desa-desa di Pekalongan juga sangat lamban kecuali pada desa yang berstatus sima sebagai wilayah yang membawahi tiga atau empat desa. Berdasarkan survei tahun 2004, jumlah penduduk Desa Linggo Asri yang mayoritas beragama Hindu sekitar 300 kepala keluarga setelah pindah dari desa lama (di sekitar Pura Linggo Asri) ke desa baru (di bawahnya).
Lambannya pertumbuhan penduduk desa di Pekalongan Kuno disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah selama abad VI kedudukan desa dari tingkat sima sampai swatantra telah berdiri sendiri dan terlepas dari kekuasaan kerajaan besar. Bahkan sejak Doro menjadi pelabuhan kuno, Pekalongan tidak pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan.
Faktor lainnya adalah adanya pendangkalan pantai. Sejak terjadinya sedimentasi pantai yang terus bertambah 4-6 meter maju ke utara setiap tahunnya, maka pelabuhan di Doro mengalami pendangkalan dari kedalaman laut semula yang berkisar 100-150 meter. Bahkan pelabuhan tersebut tidak bisa digunakan lagi sampai abad XII. Dahulu sungai Kupang bermuara di pelabuhan kuno di Doro setelah terjadi pendangkalan selama berabad-abad. Selanjutnya, sungai itu mengikuti proses terjadinya daratan dan mengalir sampai pantai Pekalongan yang sekarang.
D. KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN AGAMA
Perkembangan masyarakat Pekalongan Kuno mencerminkan suasana kehidupan percandian. Hal ini berkat jasa-jasa kemakmuran yang diberikan oleh Dinasti Raja Sanna dan kemudian diteruskan oleh putranya yaitu Sanjaya yang merupakan pemegang tampuk pemerintahan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Peninggalan berupa candi-candi besar seperti Borobudur ataupun Prambanan tidak tampak di wilayah dataran tinggi di belahan utara Pegunungan Rogojembangan. Namun demikian, dengan banyaknya peninggalan Hindu yang ada di berbagai tempat di desa kuno di Pekalongan maka hal itu dapat memberikan gambaran bahwa kehidupan keagamaan masyarakat pada waktu itu telah berkembang dengan baik.
Pendudukan bermukim di lembah-lembah sebelah utara daerah Pegunungan Rogojembangan. Masyarakat Pekalongan Kuno disebut juga sebagai orang bawah (wong lembah atau wong ngare). Ngare adalah tanah datar di bawah gunung dan penduduknya bertempat tinggal di daerah yang letaknya lebih rendah, sedangkan daerah gunung yang lebih tinggi adalah Dataran Tinggi Dieng. Sampai sekarang ini istilah “wong lor ngare” masih sering digunakan oleh para penduduk disekitar daerah Bawang, Petungkriyono, dan Silurah Wonotunggal.
Pada umumnya, masyarakat yang hidup di dataran rendah pada masa itu bermata pencaharian sebagai petani tetapi ada juga yang hidup sebagai pedagang. Mobilitas penduduk dalam hubungan antara satu desa dengan desa lain lebih mudah menuju ke daerah selatan daripada ke desa-desa yang berada di bagian utara. Selain sebagai pusat keramaian, daerah dataran tinggi juga dianggap sebagai jalan penghubung antara Bawang dan Dieng Jalan Penghubung itu disebut Jalan “Ondo Rante”.
Sima merupakan sebuah bentuk desa yang lengkap dan terdapat suatu tatanan social yang terdiri dari berbagai tingkatan. Anda kelompok pendeta (P’u) yang memelihara dan merawat bangunan suci, kepala desa (Mathani) bahkan ada juga yang mewakili raja (Bathara) yang disebut Sama Sanak untuk mendapatkan pajak dan pendapatan dari bangunan suci. Selain itu, ada juga penduduk biasa yaitu para petani pengrajin atau pedagang yang disebut astacandala. Secara ekonomis, astacandala memiliki peran melayani kegiatan social keagamaan dan menyediakan barang-barang perlengkapan upacara desa. Dalam upacara Manusuk Sima atau Upacara Peribadatan, para pengrajin (astacandala) juga memiliki kepandaian membuat kain dan membatik.
Kelanjutan dari agama terdahulu yang ada sebelum para pendatang dari India menyebarkan agamanya di tanah Jawa, nampak di daerah tersebut. Di desa kuno seperti di Candi Gedong Desa Telaga Pakis Kecamatan Petungkriyono terdapat peninggalan kuno berupa lingga dan yoni, pahatan naga, serta lapik berbentuk kura-kura. Dalam posisinya sebagai kumpulan benda-benda bersejarah, lingga dan yoni merupakan bagian dari perlengkapan bangunan candi Hindu. Kedua bentuk peninggalan kuno di Desa Telaga Pakis dan Linggo Asri tersebut sudah ada sejak Agama Hindu dan Budha masuk ke daerah tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya permukiman penduduk yang memeluk agama atau kepercayaan yang bersifat animism.
Setelah pengaruh hindu yang dibawa oleh pendatang dari India masuk ke jawa maka terjadilah sinkretisme antara bentuk kepercayaan lama dan baru. Perpaduan dapat berjalan lancar karena tingkat kebudayaan serta toleransi masyarakat cukup tinggi. Pendatang dari India tersebut telah membawa pengaruh berbagai pengembangan bagi kehidupan masyarakat, baik dalam segi agama, kebudayaan, maupun perekonomian. Pada saat yang sama, Agama Hindu yang ada di Jawa telah mengalami sinkretisme dengan Agama Budha yang sama-sama berasal dari India. Hal ini dibuktikan dalam Prasasti Taji Gunung yang berbunyi : “Om Namassiwaja Namo Budhaya”, artinya bakti kepada Dewa Siwa dan Budha.
Meskipun dipusat kerajaan mataram kuno para raja memeluk kedua agama, kepercayaan yang berlaku pada masyarakat kuno di Pekalongan adalah sinkretisme antara Agama Hindu dengan kepercayaan Animisme. Agama Budha berkembang sendiri dan jumlahnya lebih sedikit daripada Agama Hindu. Banyak bangunan suci yang masih sederhana serta arca-arca berlanggam klasik awal di Jawa, seperti Arca Ganesha yang terdapat di Desa Jolotigo dan Pekalongan serta Arca Gajah di Desa Brokoh, Kecamatan Wonotunggal, Batang. Sinkretisme Hindu-Animisme yang tumbuh subur menimbulkan berbagai aliran dan kepercayaan termasuk Aliran Tantrayana dan Bahirawa.
E. DAERAH MERDEKA
Terjadinya daerah merdeka di wilayah Pekalongan Kuno merupakan akibat dari faktor alam dan politik. Pada setiap periode kekuasaan di jawa tengah mengalami pergolakan sehingga mempengaruhi pasang surut pengembangan daerah. Pada paruh abad VIII yaitu saat runtuhnya Kerajaan Mataram-Jawa Tengah kemudian pindah ke Jawa Timur, dapat dikatakan bahwa daerah tersebut menjadi otonom dan kembali menjadi kerajaan kecil yang merdeka. Menurut sumber sejarah Tiongkok para periode Dinasti Tang yang tertulis pada tahun Saka 828 atau 918 Masehi, dalam buku Tuen-Shi-Lei Pin disebutkan bahwa perpindahan kekuasaan Mataram Kuno di Jawa Timur terjadi sekitar tahun 667 Saka atau 755 Masehi.
Berdasarkan runtuhnya kerajaan mataram kuno di jawa tengah, sebuah kronik yang tertulis oleh Amin Budiman dalam sejarah semarang dengan mengutip sebuah sumber menyebutkan bahwa pada mulanya Mataram merupakan kerajaan kecil tetapi lambat laun Mataram menjadi dasar karena menaklukan beberapa kerajaan kecil dan selanjutnya dipaksa bernaung dibawah paying mataram. Mereka lebih suka hidup miskin tetapi merdeka di keratin sendiri daripada hidup mewah di bawah telapak maharaja. Kelemahan maharaja menyebabkan kerajaan besar runtuh dan daerah Mataram pun terpecah belah menjadi kerajaan kecil seperti semula. Akhirnya, lenyaplah Mataram hanya cita-cita kebesaran Mataram saja yang masih bergelora di Sriwijaya dan Jawa.
Tafsir yang disampaikan oleh Prof. Purbatjaraka tentang Prasasti Airlangga yang berangkat tahun Saka 956 atau 1032 Masehi, sangatlah menarik. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa raja arilangga menghadiahkan desa baru kepada para penduduk sebagai tanda terima kasih atas sambutan diterimanya ketika bermalam di desa tersebut sehingga dia berhasil menaklukan musuhnya yang berada di desa Hasin. “Prof. Purbatjaraka menafsirkan bahwa toponim Hasin yang disamakan dengan Kerajaan Mo-Ho-Sin oleh Berita Cina, berada di Jawa Tengah yaitu di Desa Hasin yang sekarang dan berubah nama menjadi Masin. Desa Masin yang berada di wilayah kecamatan warung asem itu di lalui oleh sungai loji (kupang). Sungai tersebut menjadi batas wilayah antara kabupaten Batang dengan Kabupaten Pekalongan.
BAB II
KAIN DAN BATIK KUNO
Dalam bentuknya yang sederhana, pemakaian kain pada masa lampau merupakan salah satu sarana untuk menutupi bagian tubuh. Bersamaan dengan proses pembudayaan dan tingkat kebutuhan. Fungsi dari pemakaian kain berkembang menjadi pelengkap keindahan maupun symbol untuk perhajatan terhadap Tuhan yang disembah. Penggunaan kain pada jaman Indonesia-hindu di jawa dilakukan menurut kebutuhannya dan untuk melengkapi keindahan dibuatlah sejenis kain ikat pinggul yang diberi nama uncal, sampur dan bira. Kain yang sesuai dengan tingkat derajat pemakaiannya digunakan untuk upacara keagamaan dan upacara manusuk sima. Kain-kain itu terdiri dari beberapa jenis, misalnya kain kaliyaga, jaro, pinilai, rangga, bira, atamaraksa, dan sebagainya. Barang-barang semacam itu dinamakan pasak-pasak. Hadiah tersebut tidak selalu datang dari raja tetapi bisa juga diberikan oleh pejabat bawahan seperti kepala desa kepada raja atau rakyat.
Pada Prasasti Poh disebutkan bahwa para ketua desa dan orang-orang tua di Poh mempersembahkan kain jenis jaro kepada Sri Maharaja. Selain itu, kain jenis jaro beserta emas sebanyak 5 suwarno (gram) diberikan kepada nenek raja dalam jumlah yang sama. Selanjutnya, satu stel kain jenis kaliyaga dan emas sebanyak 4 suwarno diberikan kepada Rakyanapatih. Suatu ketika kepada pejabat tinggi lainnya juga diberikan kain jenis kaliyaga dan emas 1 suwarno. Kain jenis kaliyaga dan jaro merupakan kain pilihan yang pantas untuk raja atau orang yang berderajat tinggi, sedangkan jenis kain untuk rakyat biasa dan para wanita adalah jenis pinilai. Apabila melihat tingkat sosial pemakai kain pinilai adalah golongan rendah, maka bisa dikatakan kain tersebut, ada juga nama wdihan yang berarti kain untuk laki-laki yang disebut bebed dan kain perempuan disebut tapih.
A. PERAN ASTACANDALA
Masyarakat di beberapa tempat di desa-desa jawa maupun Pekalongan kuno sudah terbiasa memakai tapih dan bebed, sedangkan anak-anak memakai jenis kain rangga. Pemakaian kain jenis bebed maupun tapih tidak saja putih polos sesuai aslinya , tetapi diberi warna serta ragam hias dengan cara membatik utuk menambah keindahan serta tujuan tertentu dan dibuat oleh golongan pengrajin yang disebut astacandala. Meskipun para astacandala terdiri dari golongan rakyat biasa, mereka mendapat tempat atau kedudukan yang dihormati karena kepandaiannya oleh para Pu atau pendeta. Kain batik tersebut selain dibuat untuk bebed atau tapih, juga dipakai sebagai benda pelengkap upacara keagamaan. Batik dengan hiasan dan warna tertentu dipakai sebagai alas tempat sesaji dalam pura.
Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa aliran / sekte agama hindu dan budha, baik penyembah dewa siwa yang disebut siwastra maupun aliran bahirawa dan tantrayana telah berkembang dalam kehidupan keagamaan hindu-budha pasca kekuasaan mataram-hindu di pekalongan kuno. Aliran siwastra juga disebut aliran saiwapaksa dengan lambing berupa senjata panah dewa siwa.
Ada suatu tradisi larung yang disebut “Nyadran” yaitu mengupahkan pembuatan kain batik kepada seorang dukun bayi agar anaknya sembuh dari penyakitnya. Pada upacara nyadran besar yang diadakan setahun sekali saat selamatan seren taun, masyarakat desa di daerah pegunungan maupun pantai menyertakan kain batik dengan pola tertentu untuk ikut dilarung di laut. Menurut Sukarto K. Atmodjo, tradisi semacam itu merupakan sisa-sisa peninggalan masa Hindu-Jawa Tengah pada abad IX atau X masehi. Dengan demikian, batik pada masa lampau dengan ragam hias yang mengandung kepercayaan.oleh karena itu, kedudukan kain batik sangat disakralkan karena dianggap memiliki sifat magis.
Secara ekonomis, batik pada masa lampau belum menunjukan sebagai barang yang diperdagangkan. Pemakaian kain berpola masih terbatas digunakan oleh kalangan masyarakat tertentu, seperti para brahmana dan pendeta. Para raja dan keluarganya lebih banyak menerima hadiah kain bercorak atau sulaman dengan hiasan tertentu seperti halnya tenun patola dari india (pantai gujarat) atau Thailand yang dibuat dengan teknik tenun ganda. Oleh karena kain-kain tersebut mahal dana semakin langka sehingga sulit dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, maka golonan astacandala membuat kain dengan ragam hias yang sama namun dengan teknik berbeda yaitu teknik batik. Itulah pertama kali pembuatan kain dengan ragam hias batik dimulai.
B. RAGAM HIAS BATIK KUNO
Secara umum, perkembangan ragam hias batik kuno pertama kali diilhami dari bentuk ragam hias pahatan tiga dimensi yang terdapat pada relief candi maupun hiasan arca. Kedua adalah bentuk tumbuh-tumbuhan (flora) dan binatang (fauna) seperti sulur-sulur daun, bunga, ikan, burung, dan singa. Adapun yang ketiga adalah bentuk garis atau bidang berbentuk geometris yang mengandung lambang tanda perhitungan hari dan bulan serta bentuk bangun tertutup berupa garis-garis, segitiga, setengah bulatan, bulatan-bulatan, atau yang lainnya. Bentuk segitiga atau bulatan, bentuk ikal, dan garis gelombang dikenal sebagai ragam hias pilin, meander, dan swastika. Ragam hiasa seperti itu sebenarnya sudah hadir dan sudah umu pada masa prasejarah, khususnya pada jaman perunggu. Peninggalan nenek moyang berupa batu kubur di pulau sumbah telah menggunakan ragam hias semacam itu.
Ragam hias segitiga adalah ragam hias yang dalam istilah jawa disebut “tumpal” dan maknanya lambang kekuasaan. Beberapa sumber menyebutkan ragam hias tersebut berasal dari india dan merupakan stilirisasi gigi buaya sebagai lambing penolak bala. Ragam hias segitiga pada batik terdapat pada sarung, kain kepala (pada ujung kanan dan kiri kain) serta kain stengah kepala (1 ujung saja yang mempunyai ragam hias segitiga). Ragam hias “tumpal” banyak dipakai untuk hiasan bagian kepala (jakata makuto) arca. Pohon hayat yang disebut kapaltaru membentuk sulur daun yang dijaga oleh naga juga dipakai oleh ragam hias “tumpal”.
Ada beberapa pola batik pada masa hindu kuno dijawa, antara lain pola kawong, tumpal, ceplokan. Padmasabha, dan sebagainya. Semuanya itu menjadi dasar bentuk pola-pola ragam hias batik. Pola semacam itu bersumber dari lingkaran candi, sedangkan untuk pola kawong, tumpal, ceplokan dipengaruhi oleh bentuk ragam hias yang terdapat pada hiasan kubur batu pada masa prasejarah. Masing-masing ragam hias memiliki ragam seni, dan makna perlambangan yang secara bersinambungan dapat menyatu menjadi sebuah hiasan kuno. Pada masa lampau, kerejaan yang pada waktu itu berada di pemerintahan mataram kuno. Penggunaan dan pembuatan batik terus belrkangsung hingga abad XII setelah kekuasaan mataram hindu pindah ke jawa timur dan menjelang keruntuhannya pada abad XVI.
Ragam hias yang menjadi ragam batik terus dikembangkan oleh keluarga didalam kraton sampai dengan periode mataram baru pada abad XVI masehi dan kesakralannya dijadikannya sebagai symbol status suatu jabatan. Meskipun masyarakat saat itu membuat batik, baik untuk pelengkap sarana upacara maupun dipakai sebagai busana dalam pengembangannya masih ketinggalan apabila dibandingkan dengan batik-batik yang dibuat di daerah pedalaman dan pusat kerajaan.
C. BATIK PEKALONGAN KUNO
Berdasarkan penelitian pada beberapa batik yang terdapat di dua desa yaitu desa deles,kecamatan bawang,kabupaten batang dan desa lebak barang di kabupaten pekalongan,terdapat indikasi bahwa batik di kedua desa tersebut menunjukkan pola batik pekalongan kuno.batik yang dikeramatkan milik seorang dukun di desa deles berupa kain dengan ukuran 60×80 centimeter dengan warna dasar putih dan biru tua. Nampaknya batik tersebut bukan digunakan sebagai busana ataupun kain ikat tetapi kemungkinan besar digunakan untuk tempat sesaji jika melihat polanya yang amat sederhana. Pola batik itu terdiri dari tiga bidang dengan garis pinggir berbentuk padmasana dan garis ratna sambawa sedangkan pada bagian tengah batik tersebut terdapat ragam hias bulatan dan ukel yang menunjukkan bahwa teknik pembuatannya dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah membuat bidang pemisahan warna yang dilakukan dengan teknis celup rintang dengan cara ikat,sedangkan pada pembuatan ragam hias bulatan,ukel dan garis ratna sambawa dengan menggunakan jegul yaitu alat yang menyebar sampai ke daerah Banjarnegara dan desa-desa di wilayah Banyumas,selain teknik pembuatan batik lain yang juga berkembang di daerah-daerah tersebut,yaitu teknik yang berasal dari dalam tembok keraton Mataram.
Teknik semacam itu ditemukan pada Batik Banyumas yang dibuat oleh bapak Bandi dari Kebumen yang telah menjadi koleksi Keluarga Lusiana Ong sejak tahun 1925 dan sekarang berada di Museum Batik Yogyakarta. Penggunaan lilin daun sebagai bahan perintang warna adalah suatu cara yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat kuno dalam membatik. Cara itu dilakukan sebelum ditemuk dengaannya bahan lilin tawon dan lemak. Para Pu (pendeta) telaj mengajarkan cara membatik kepada masyarakat berdasarkan pengalam dalam mempelajari kitab-kitab selama di india. Meskipun lilin daun tidak digunakan lagi setelah ditemukannya lilin tawon, tetapi beberapa abad kemudian yaitu sekitar tahun 1830,pengusaha batik dari Cilacap ataupun Banyumas kembali menggunakan lilin daun dalam membuat batik.
D. WARNA BAHAN ALAM
Perwarnaan dilakukan dengan menggunakan warna-warna alam seperti warna biru yang diperoleh dari daun pohon nila atau warna merah yang dapat diperoleh dari akar pohon mewengkudu (mengkudu).Warna coklat tua dapat diperoleh dari kulit kayu tegeran dan kulit kayu soga,sedangkan warna kuning dengan cara mencampurkan cairan umbi kunyit atau kayu tegeran dengan sari kuning. Semua pewarnaan tersebut dilakukan dengan cara celup. Meskipun banyak warna dapat diperoleh dari bahan alam, pewarnaan batik pada masa Pekalongan Kuno hanya menggunakan dua jenis warna. Pada umumnya, warna yang digunakan adalah biru dan putih yang merupakan warna dasar kecuali pada pewarnaan Batik Jelamprang. Untuk memperoleh warna biru kehitaman menggunakan campuran warna soga dan kulit kayu tegeran.
Para pembatik pada masa Pekalongan Kuno menggunakan warna alam tersebut sampai adanya pengaruh batik bercorak Cina. Mereka menggunakan bahan warna kimia ( indigosol ) yang didatangkan dari Cina dan India. Pada masa-masa berikutnya, pengrajin batik di Pekalongan masih menggunakan bahan warna alam seperti warna-warna yang diperoleh dari kulit soga. Namun demikian, lambat laun pewarnaan dengan menggunakan bahan alam tersebut tidak digunakan lagi dan beralih kepada pewarna kimia karena mudah dalam penggunaannya.
BAB IV
BATIK PESISIRAN
Abad XV dan XVI masehi merupakan abad pembaruan bagi masyarakat jawa. Pada periode kerajaan demak sampai paruh abad XVI, seni kerajinan batik mulai dikembangkan bersamaan dengan tumbuhnya seni bangunan. Hal yang membedakan antara seni kerajinan batik dengan seni bangunan terletak pada teknik dan penggunaan bahan. Dalam hal ragam hias, seni kerajinan batik mendapat ilham dari bangunan suci ataupun keraton. Demikian pula halnya dalam hal pengembangan konsep.
Pada konsep bangunan jawa-hindu yang telah bertahan dan dilakukan setelah konversi islam, menurut M.C. Ricklefs hal itu mencerminkan adanya keseimbangan cultural yang berhubungan antara jawa kuno dan jawa modern. Alasan tersebut sangat masuk akal setelah melihat latar belakang bahwa kerajaan-kerajaan islam berikutnya adalah pewaris budaya hindu dan majapahit yang selanjutnya mereka adaptasikan dalam kejeniusan tersendiri. Runtuhnya majapahit mungkin meninggalkan kekacauan sekaligus perubahan-perubahan antara lain berupa inspirasi local dalam aktualitas cultural. Puing-puing reruntuhan dalam bentuk bangunan masih dipelihara dan dipertahankan di kota-kota kerajaan islam seperti demak, Cirebon, maupun Surabaya. Bentuk-bentuk hasil seni termasuk bangunannya, telah mencontoh majapahit. Pesan kultural itu disampaikan dalam Babad Demak oleh para wali yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
“Sebaiknya Paman terung
Merupakan barang-barang yang ditinggal
Sunan Kudus memerintahkan
Semua orang islam yang kembali ke Bonang
Dengan memboyong Paseban, Pajeksan Majapahit
Untuk membangun serambi Mekkah
Di Demak……..”
“Keraton Demak itu hendaknya
tetap seperti Keraton Majapahit
Besok setelah Tuan menjadi Raja
Berbuat baiklah dengan sesame orang…..”
(Kalimat di atas diucapkan oleh Sunan Bonang kepada Raden Patah saat tentaranya kembali dari Majapahit ke Demak).
Pada suatu sisi, runtuhnya kerajaan majapahit lebih tertuju pada konflik keagamaan baru dan lama. Menurut M.C. Ricklefs, hal ini menyebabkan peran para wali menjadi tidak jelas dalam proses historis sehingga membawa keruntuhan majapahit. Namun demikian, tidak bisa dibantah lagi suatu kenyataan bahwa mereka memiliki otoritas duniawi maupun spiritual. Tangan-tangan terampil para ahli Tionghoa yang sebelumnya sudah memberikan corak selama proses perjalanan budaya yang berlangsung di majapahit, mungkin lebih berperan dalam perubahan itu. Dengan demikian, ketika perubahan itu terjadi,mereka siap beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dari sinilah sebenarnya ragam hias yang mengikuti pola lama seperti yang mereka terapkan pada masa Majapahit dan selanjutnya dipoles dengan nafas Konfusius mulai berkembang.
A. TIMBULNYA BATIK PESISIRAN
Pertumbuhan seni kerajinan batik yang ditentukan oleh pola,warna,dan ragam hias itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan jaman. Masa Demak adalah masa orientasi budaya keraton bercorak islam yang berasal dari lingkungan masyarakat pesisir utara Jawa. Konsepsi Islam memberikan ruang terciptanya suatu identitas yang mengacu pada bangunan suci seperti masjid,atau makam. Suatu hal yang spesifik bahwa ragam hias pada masa Hindu- Jawa tengah sampai jaman Majapahit merupakan ragam hias yang sudah baku bertolak pada bangunan keraton dan candi. Ragam hias lama seperti tumpal, ukel,kawung dan sulur daun, masih terpahat pada ukiran pintu dan panil-panil tiang Masjid Demak.
Demikian pula halnya deagan warna-warna yang menghiasi keseluruhan bangunan. Warna hijau,merah,serta kuning emas telah menunjukkan corak yang khas sebagai prototype warna bangunan Keraton Majapahit yang pernah ditangani oleh Tionghoa pada abad XIV. Sesuatu yang sangat spesifik adalah corak bangunan dan hiasannya yang menampilkan warna-warna cina. Hal itu menandakan adanya persamaan persepsi tentang kedua unsure budaya yang berkembang pada masa Hindu Konfusius ke dalam Islam.Munculnya pola meander dan pilin ke dalam bentuk ragam hias Pra Islam adalah suatu bagian dari bentuk stilirisasi (yang disesuaikan) dengan corak yang berkembang saat itu. Oleh karenanya, hiasan medallion yang menempel pada hiasan Masjid Mantingan di Makam Ratu Kalinyamat, Jepara, telah disamarkan dalam bentuk Arabiksi. Ragam hias daun atau sulur rambat seperti daun teratai dan bentuk eceng-ecengan pada hiasan Masjid Mantingan juga terlihat diterapkan dalam batik yang disebut corak “Demakan”.
Stilirisasi pola pada Batik Pesisiran yang mendapat pengaruh dari lingkungannya tidak saja bersumber dari masjid atau makam tetapi juga dari lingkungan alam. Pola yang disebut “kapal kandas” pada Batik Rembang dan “tritis” pada Batik Lasem adalah salah satu contoh diantara batik dari kedua daerah itu yang diperkirakan berkembang pada awal abad XVI dan XVII masehi. Batik “kapal kandas” mewakili kota pada saat kota yang bersangkutan merupakan kota pelabuhan. Stilirisasi bentuk ragam hias perahu pecaling, ombak-ombak laut, dan gunung yang dilengkapi dengan ragam hias sulur rambat telah diekspresikan dengan media lilin pada kain sehingga terbentuklah sebuah lukisan klasik anonym yaitu batik. Pada pola batik itu, sekilas dapat memberikan petunjuk adanya sejarah kota di pesisir utara jawa pada pertengahan abad XVI dan XVII masehi. Jepara, demak, dan tuban disebut sebagai wilayah sandang garba “raja kaum pedagang”. Sebutan itu mengindikasikan bahwa pada jaman duhulu kota-kota tersebut merupakan kota pelabuhan yang sangat penting. Kata “sandang” sudah menunjukan adanya perdagangan pakaian yang berjalan seiring dengan perdagangan beras yang menjadi primadona pada masa itu. Meskipun kapasitasnya tidak terlalu besar, pedagang cina-rembang telah memanfaatkan pembuatan batik sebagai barang kaomoditi. Penyebaran batik pesisiran dari kota-kota di jawa pada masa demak dan sesudahnya, berkembang sejak hubungan berdagang lalau lintas antar pulau berlangsung. Pada tahun 1614 penguasaan wilayah oleh raj-raja mataram pada tahun itu lebih cenderung kearah bagian timur sampai pulau Madura, Bali, dan Lombok.
Orientasi ragam hias pada batik Madura mengacu pada perkembangan ragam hias batik jawa. Namun demikian, berbagai pengaruh ragam hias local pada makam raja-raja Tjakraningrat juga kita dapati sebagai sumber inspirasi bagi pembatik Madura. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pada masa itu kerajaan mataram menjangkau pulau Madura hingga ujung timur dan bukti peninggalannya dapat kita lihat di keraton sumenep. Objek flora dan fauna seperti salur rambat, salur gelung, ombat laut, mega mendung, gunung, dan jenis binatang seperti garuda, singa, dan banteng, yang terbingkai dalam bentuk medallion telah memberikan aksentuasi secara samar-samar sebagai kelengkapan ragam hias lama yang lahir pada masa pra sejarah dan masa hindu-jawa tengah seperti pola kawun, ceplokan, maupun hias ukel dan tumpal.
Selain batik Madura dan pekalongan dengan warna-warni yang sangat mencolok, batik-batik di pesisir utara jawa seperti demak, rembang, dan lasem, hamper semuanya menunjukan warna yang jelas warna klasik soga, nila dan mengkudu yang mendapatkan warna tambahan kuning dan hijau. Pada awalnya warna tersebut selalu diperoleh dari bahan pewarna alam. Akhirnya, pola batik pesisiran adalah sebuah adaptasi dari pola lama yang berasal dari batik pedalaman / keraton yang digabung denganstilirisasi pola baru setelah terjadinya konversi islam di jawa serta pengaruh ragam hias dari kaum pendatang manca Negara seperti cina, india, arab, dan belanda
Komentar
Posting Komentar