Legenda merupakan cerita rakyat pada jaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah, misalnya tentang nama asal-usul suatu daerah, asal-usul suatu danau atau gunung dan sebagainya. Cerita ini berkembang secara lisan, dan turun-temurun, bagi setiap daerah memiliki legenda yang diyakini kebenarannya oleh sebagian orang. Contohnya legenda tentang kota Batang.
Menurut legenda yang sangat populer, Batang berasal dari kata “ Ngembat Watang “ yang berarti mengangkat batag kayu.hal ini di ambil dari peristiwa kepahlawanan Ki Ageng Bhahurekso, yang dianggap sebagai cikal bakal Batang. Ki Ageng Bhahurekso adalah anak dari Ki Ageng Cempaluk dari Kesesi (Sebelah Selatan kota Pekalongan, sekarang telah menjadi daerah Kecamatan Kesesi sebagian dari Kabupaten Pekalongan). Adapun legendanya diceritakan sebagai berikut :
Konon pada waktu kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumomempersiapkan daerah-daerah pertanian untuk mencukupi persediaan beras bagi para prajurit Mataram yang akan mengadakan penyerangan terhadap VOC di Batavia ( sekarang Jakarta ). Bhahurekso mendapat tugas dari Sultan Agung untuk membuka alas roban untuk dijadikan daerah persawahan. Hambatan dalam melaksanakantugas ternayata cukup banyak. Para pekerja penebang kayu banyak yang sakit dan mati, karena konon diganggu oleh jin, setan, peri kayangan atau silumanpenjaga alas roban. Mahluk – mahluk halus ini dipimpin oleh raja siluman yang bernama Dadang awuk.
Mengenai alas roban, dari beberapa sumber mengatakan, Roban dahulu merupakan hutan alami yang menyeramkan, sehingga dianggap angker dan penuh misteri. Hutan ini dianggap tempat bermukimnya jin, setan, gondoruwo, bahkan raksasa serta orang-orang sesat. Dalam dunia pewayangan, alas roban digambarkan sebagai tempat bermukimnya raksasa Sindumaya, dimana petruk memperoleh bantuan darinya untuk suatu maksud. Bahkan menurut buku Serat Kidungan : Jangkop Babon Asli Keraton Surakarta, disebutkan bahwa di alas roban terdapat penguasa “Bagus Karang” sebagai mahluk lelembut yang sangat menyeramkan.
Berkat kesaktian Bhahurekso, atas gemblengan kanuragan dari ayahandanya Ki Ageng Cempaluk, akhirnya raja-raja siluman itu dapat dikalahkan dan berakhirlah gangguan-gangguan tersebut walaupun dengan satu syarat bahwa raja-raja siluman itu harus mendapat bagian dari hasil panen daerah tersebut.
Kemudian Alas Roban sebelah Barat dapat ditebang seluruhnya. Tugasnya kini tinggal mengusakan pengairan atas lahan yang telah di bukanya itu. Tetapi untuk pelaksanaan sisa pekerjaan inipun tidak luput dari gangguan maupun halangan-halangan dari raja-raja siluman lain.
Gangguan utama adalah dari raja siluman Uling yang bernama Kolo Drubikso. Bendungan yang telah selesai di buat untuk menaikkan air sungai lojahan, yang sekarang bernama Sungai Kramat itu selalu jebol, karena di rusak oleh anak buah Raja Uling. Mengetahui hal itu Bhahurekso langsung turun tangan, semua anak buah raja Uling yang bermarkas di sebuah kedung sungai di serangnya. Korban berjatuhan di pihak Uling, merahnya semburan-semburan darah membuat air di kedung menjadi merah darah kehitaman “gowok”, maka kedung itu dinamakan Kedung Sigawok. Raja Uling marah melihat semua anak buahnya binasa. Dengan pedang swedang tersebut, Bhahurekso dapat dikalahkan. Siasat segera dilakukan, atas nasihat ayahandanya Ki Ageng Cempaluk, Bhahurekso di suruh masuk ke Kaputren kerajaan Uling, untuk merayu adik sang raja yang bernama Drubiksowati, seorang putri siluman yang cantik. Rayuan Bhahurekso berhasil, Drubiksowati mau menceritakan pedang pusaka milik kakaknya itu, dan diserahkan kepadanya. Dengan pedang Swedang ditangan, dengan mudah raja Uling di kalahkan, dengan demikian maka gangguan terhadap bendungan sudah tidak pernah terjadi lagi.
Ternyata air di bendungan itu selalu lancar alirannya, kadang-kadang besar, kadang-kadang kecil, bahkan tidak mengalir sama sekali. Setelah di selidiki ternyata ada batang kayu (watang) besar, yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh – puluh orang disuruh mengangkat memindahkan watang tersebut, tetapi sama sekali tidak berhasil. Akhirnya Bhahurekso turun tangan sendiri. Setelah berdo’a, memusatkan kekuatan dan kesaktiannya, watang yang besar itu dengan mudah dapat diangkat dengan sekali embat patahlah watang itu.
Demikianlah dari peristiwa Ngembat Watang itu terjadilah nama BATANG dari kata Ngem – Bat Watang ( Batang ).
Orang Batang sendiri dengan dialeknya menyebut “Mbatang”. Melihat uraian dari sumber lisan atau legenda tersebut, kita dapat memperkirakan sejak kapan nama Batang itu terjadi. Persiapan Mataram untuk menyerang Batavia adalah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo tahun 1613 s/d 1645. Penyerangan pertama ke Batavia pada tahun 1628. Ambilah persiapan sedini-dininya, yaitu awal permulaan Sultan Agung, maka itu terjadi pada tahun 1613.
Adapula versi lain yang menceritakan tentang legenda kota Batang :
ASAL – USUL KOTA BATANG
Pada jaman dahulu kala di sebuah desa Kalisalak hiduplah seorang gadis cantik jelita yang bernama Dewi Rantan sari anak dari Mbok Rondo, karena kecantikannya tersebut maka Sultan Mataram yang bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo jatuh cinta kepada Dewi Rantan Sari. Ia menyuruh Bhahurekso yang biasa dikenal bernama Joko Bau anak dari Ki Agung Cempalek dari Kesesi untuk melamar Dewi Rantan Sari.
Sesampainya di kediaman Rantan sari, Bhahurekso terpesona dan jatuh cinta kepada Dewi Rantan sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari jatuh cinta pada Bhahurekso. Akhirnya Bhahurekso melamarnya untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan Sultan Mataram yang mengutusnya, dalam perjalanan pulang menuju Mataram dia terus berfikir bagaimana caranya bicara denagan Sultan Mataram atas peristiwa tersebut. Tidak lama dalam perjalanan tersebut Bhahurekso bertemu dengan gadis cantik lainnya yang juga yang wajahnya mirip dan secantik Rantan Sari di desa Kalibeluk anak seorang penjual serabi yang bernama Endang Wiranti, segera setelah muncul sebuah rencana di benak Bhahurekso, ia berencana membawa Endang Wiranti ke Mataram untuk diperkenalkan kepada Sultan Mataram sebagai Rantan Sari.
Akhirnya diputuskan Bhahurekso meminta Endang Wiranti menyamar menjadi Rantan Sari dan Endang menyetujui rencana tersebut, sesampai di kota Mataram Endang dipertemukan dengan Sultan, tidak lama Endang Wiranti jatuh pingsan, sultan menjadi curiga atas kejadian tersebut, setelah siuman dari pingsannya Sultan bertanya kepada Rantan Sari gadungan, Endang Wiranti menjadi sangat ketakutan dan akhirnya berterus terang mengatakan yang sesungguhnya bahwa sebenarnya dia ini bukan Rantan Sari yang dimaksudkan Sultan, tetapi adalah Endang Wiranti anak seorang penjual serabi dari desa Kalibeluk dia mengakui segala rencana yang disusun Bhahurekso untuk menipu Sultan Mataram karena Bhahurekso terlanjur jatuh cinta dan menikahi dewi Rantan sari gadis cantik yang hendak dipersunting Sultan Mataram.
Karena keterusterangan Endang Wiranti ini, Sultan sangat menghargai kejujuran Endang Wiranti dengan menghadiahkan sejumlah uang yang cukup banyak untuk modal meneruskan berjualan serabi dan diantarkan pulang ke Kalibeluk, Endang mohon pamit pulang dan mohon dimaafkan atas kejadian tersebut.
Sebagai hukuman atas kejadian kebohongan tersebut Sultan menghukum Bhahurekso dengan tugas berat berupa membuka hutan lebat yang sangat berbahaya karena banyak dihuni jin dan setan dengan menebang pohon-pohon besar dan berperang melawan jin penghuni alas roban. Karena Bhahurekso bersalah dan menerima hukuman itu dan langsung sesampainya disana Bhahurekso menebang semua pohon besar yang ada di alas Roban.
Sebenarnya pohon-pohon besar itu adalah jelmaan para siluman yang dipimpin oleh seorang siluman raksasa yang mempunyai anak yang sangat cantik bernama Dubrikso wati, sebagai tanda menyerah atas kemenangan Bhahurekso yang sangat sakti itu raja siluman memberi hadiah berupa putrinya untuk dinikahi Bhahurekso. Bhahurekso menyetujui dan menikahi Dubrikso Wati dan memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Banteng.
Akibat dari penebangan pohon-pohon hutan yang besar-besar tersebut, bau, maka banyak bangkai-bangkai siluman berupa batang-batang (istilah Jawa) yang terapung di sungai, setelah hujan besar, sejak saat itu maka tempat tersebut disebut BATANG yang sekarang disebut Kota Batang.
LEGENDA THR KRAMAT
Kramat merupakan salah satu tempat rekreasi di Kabupaten Batang yang cukup dikenal, berlokasi di Kecamatan Batang tepatnya di Kelurahan Proyonanggan Selatan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Pada hari-hari libur dan setiap hari Jum’at Kliwon, tempat tersebut dipadati para pengunjung baik domestik maupun daerah lain.
Bagi golongan tua yang meyakini suatu kepercayaan tertentu memiliki arti tersendiri yang melalatarbelakangi kehadirannya ke tempat tersebut, sedangkan para generasi muda pada umumnya hanya bermotif hiburan belaka.
Menurut para tetua (sesepuh) adat Batang, mengatakan bahwa tempat tersebut dinamakan Kramat karena di sana terdapat banyak petilasan, baik berbentuk bekas pemujaan nenek moyang pada jaman bahari, tempat istirahat seorang tokoh/panutan, tempat memberi wejangan pesalatan dan bahkan beberapa makam tokoh lengkap ada di seputar Kramat tersebut.
Oleh para anggota masyarakat tradisional, tempat-tempat seperti itu dianggap kramat, sehingga pantas apabila tempat di seputar sugai Lojahan yang juga dikenal sebagai sungai Kramat, Sambong atau Klidang itu yang memanjang dari Utara ke Selatan dan berbatasan dengan desa Kecepak dan Pasekaran itu disebut Kramat.
Dari hal-hal tersebutlah, mungkin yang menjadikan Bupati pertama Kanjeng Raden Adipati Batang ( R. Prawiro ) berkenan memberikan nama lokasi itu dengan nama “Kramat”.
Lebih lanjut para tetua (sesepuh) adat Batang mengemukakan secara kronologis, mengapa daerah tersebut disebut Kramat, menurut mereka, dahulu disekitar bendungan Kendungdowo (lama) terdapat sebuah batu yang terkenal oleh masyarakat setempat sebagai “watu angkrik “ dan sampai sekarang peninggalan lain yang bisa dilihat yaitu ‘Watu Ambon”. Kedua batu tersebut diduga dahulu digunakan oleh nenek moyang kita jaman pra sejarah sebagai tempat pemujaan arwah leluhur.
Pada perkembangan agama Islam pertama di Pulau Jawa, kawasan tersebut diyakini pernah dilalui Sunan Kalijaga semasa beliau menjalankan tugas dari Sunan Bonang untuk berdakwah di lingkungan Pulau Jawa bagian Barat, begitu pula dahulu Sunan Kalijaga saat berguru di Bumi Cirebon singgah di daerah yang kelak dinamakan Kramat.
Dikemukakan pula oleh para tetua (sesepuh) adat Batang bahwa dua orang dari negeri Arab, yaitu seorang yang bergelar Syekh dan Sayid, dengan tekun mengembnagkan syiar Islam di wilayah Kramat dan sekitarnya, keduanya wafat dan dikebumikan di makam di desa Pasekaran. Bahkan oleh para tetua (sesepuh ) adat Batang tersebut meyakini pula bahwa seorang ulama besar dahulu pernah menjalankan syiar Islam di seputar kawasan Kramat tersebut.
Kini di sekitar lokasi Kramat, sudah ditunjang dengan sarana peningkatan jalan, ada bendungan baru dan pembenahan lokasi, taman hiburan dengan pembangunan fisik serta jenis-jenis hiburan yang dipergelarkan sehingga merubah tradisi tersebut.
LEGENDA KRAMAT KAITANNYA DENGAN BHAHUREKSO
Kaitan legenda Kramat dengan Bhahurekso (pejabat tinggi pada pemerintahan Sultan Agung) dari Mataram 1613 – 1645 M), amat erat dan mendalam sekali, dikemukakan oleh sesepuh adat, di sekitar wilayah Kedunggowok (sebelelah Utara Kedung Dowo) disanalah pernah terjadi peristiwa penting, yaitu awal terjadinya Kabupaten Batang.
Pada waktu itu ajang perjuangan dimaksud, terjadi menjelang masa Sultan Agung (1613 M), yaitu saat Bhahurekso membantu Menteri Pamajengan Sasak Layangsari membasmi perampok pimpinan Drubekso yang mengaku “raja” di wilayah kekuasaannya. Kedua kekuatan tersebut berbenturan, namun jalannya alot dan seimbang sehingga oleh Bhahurekso diibaratkan bagai “ambet – ambetan watang” (mengambat galah). Dari asal ibarat ini, lahir nama Batang dan dipatrikan secara abadi sebagai nama kota serta kabupaten.
Untuk mengenang dan menghayati para pejuang dan perintis Batang tersebut, Bupati pertama Pangeran Adipati Mandurejo, mengadakan tradisi ziarah ke lokasi bekas ajang perjuangan di sekitar Keramat tersebut. Yang diikuti serta dilestarikan masyarakat setempat sampai sekarang.
LEGENDA UJUNG NEGORO
Salah satu desa di kawasan Pantai Jawa. Lingkup wilayah Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, bernama “Ujung Negoro”. Nama desa yang khas ini, menggelitik bagi para peminat, pemeran dan sejarawan, guna mengetahui latar belakang sejarahnya.
Menurut keluarga R. Soenarjo, Ujung Negoro yang merupakan salah satu kawasan pemukiman dan pemerintahan ditingkat desa, mempunyai kaitan erat dengan perkembnagan Kabupaten Batang di Batang ini.
Di Pantai yang sekarang dikenal termasuk desa Ujung Negoro ini, dahulu di abad 17 yaitu masa awal berdirinya Kabupaten Batang, oleh sumber itu dituturkan, menjadi tempat berlabuhnya jung-jung atau perahu-perahu dari negeri Cina. Dan bermula bermangkalnya “Jung-jung saka Cina” dalam bahasa daerah yang berasal dari Negeri Cina. Akhirnya tempat tersebut disebut Ujung Negoro.
Bermangkalnya perahu-perahu besar dari Cina itu menurut sumber yang sama, tidak lain milik para perampokpimpinan Baurekso. Yang mengaku berkuasa di seputar kali “Lojahan” (Sambong – Kramat ) penguasa lokal tidak mau mengakui yang dipertuan Mataram Islam itu.
Menurut Bapak R. Soedibjo Giri Soerjaham Logo, dalam majalah “Gema Pembangunan” Edisi khusus babad Pekalongan, terbitan Pemda Pekalongan, Nomor 27 Pekalongan 10 Juli 1975, disebut “Sang Tunjang Mlaya” (Teratai putih yang melayang-layang) atau “sang Raja Uling kanting”.
Sedangkan menurut penuturan sementara penduduk, Drubekso yang mengakui “Penguasa” itu, disebut Uling, sebab ia dan kawan-kawannya ternyata tangguh dan ulet dalam upaya mempertahankan kawasan yang tidak sah itu. Sementara pendapat yang lain “Uling” tidak lain berasal dari bahasa Cina yaitu “Heling”.
Menurut keluarga R. Soenarjo, lebih lanjut menuturkan bahwa daerah kekuasaan “Heling” (Uling) atau Drubikso memanjang pantai Jawa, dan kawasan Gambiran (Pekalongan) sampai Alas Roban (Timur Batang), dari hilir sungai “Lojahan” dengan benteng rahasianya (Sademan dan secara sembunyi-sembunyi, sekarang menjadi nama kampung “Sademan” desa Klidang Lor. Terus meliputi daerah-daerah sekitar : Sambong, Kedung Cina, Kedung Ringin (di Kecamatan Batang) Jung Biru dan seputar wilayah gunung Tugel (Kecamatan Wonotunggal) kekuasaan Drubikso.
Kekuasaan Drubikso beakhir, akhirnya Drubikso bisa dikalahkan oleh jaka Bau (Bhaurekso) dengan dibantu oleh pasukan Mataram, Subah, Gringsing dan kawan-kawan seperjuangan yang lain. Sehingga akhirnya perahu-perahu dari daratan Cina tersebut, kini hanya tinggal kenangan sejarah, tidak mengakui lagi Ujung Negoro seperti apa yang terjadi pada jaman dahulu.
ASAL MULA DESA KLIDANG
Dalam pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, menyuruh Raden Bhahu untuk menebang hutan. Guna dijadikan pemukiman. Antara Subah sampai Pekalongan.
Pada saat melaksankan tugasnya untuk menebang hutan, Raden Bhahu (Bhahurekso) berjalan menyusuri sungai, sampai suatu saat beliau tertidur di pinggir sungai karena kelelahan. Pada keesokan harinya air sungai tiba-tiba pasang, beliaupun terbangun dan segera bangun ke tempat yang lebih tingi. Tetapi setelah sampai di dataran yang lebih tinggi, beliau terkejut ketika akan melanjutkan tugasnya untuk menebang hutan, ketika itu pedang yang biasa dibawanya itu hilang. Kemudian beliau mencarinya di pinggir sungai yang waktu itu untuk beristirahat.
Sehari, berhari-hari dan berminggu-minggu sampai hampir satu bulan Raden Bahu mencari pedangnya, tapi pencarian itu sama sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan pencariannya, karena masih banyak tugas yang menanti di pundaknya, sebelum Raden Bahu pergi, beliau memberi nama daerah di sekitar sungai itu dengan sebutan KLIDANG yang berasal dari sebutan kata ( Kali ) dalam bahasa Indonesia yang artinya sungai dan ( Pedang ). Daerah ini berada di sebelah Utara di Kabupaten Batang.
LEGENDA DUKUH ROWOSUKO
(Dukuh Rowosuko, Desa Rowobelang, Kec. Batang, Kab. Batang)
Pada jaman dahulu, dukuh Rowosuko adalah sebuah tempat yang belum dihuni oleh manusia dan ditumbuhi rerumputan liar serta pohon-pohon besar.
Konon Dukuh Rowosuko ditemukan oleh Eyang Surgi. Eyang Surgi adalah seorang Kyai yang berkelana dan menemukan tempat itu. Eyang Surgi membersihkan rerumputan liar dan menebang sebagian pohon untuk dijadikan rumah atau tempat peristirahatan. Kegiatan sehari-hari eyang Surgi adalah bercocok tanam, mengubah lahan yang ditumbuhi rumput liar menjadi kebun dan sawah.
Selang beberapa lama tersiar kabar bahwa ada seorang Kyai yang menghuni dusun kecil yang makmur. Kemudian orang-orang berdatanagn untuk mencari ilmu dan meminta perlindungan kepada Eyang Surgi. Orang-orang pendatang membuat rumah dan menjadikan lahan-lahan kosong untuk bercocok tanam. Eyang Surgi dijadikan sebagai pemuka di dusun itu. Orang-orang patuh dan taat pada ajaran Eyang Surgi. Namun, dusun kecil itu belum diberi nama, yang kemudian oleh Eyang Surgi diberi nama Rowosuko.
Konon diberi nama Rowosuko itu karena di sawah milik Eyang Surgi terdapat pohoh besar yang bernama pohon Soko. Pada suatu hari ada hujan dan badai sehingga menumbangkan pohon Soko tersebut. Pohon Soko itu tumbang ke sawah milik eyang Surgi. Karena pohon Soko yang sangat besar itu tidak ada seorangpun yang mampu mengambil batang kayunya.
Lambat laun batang kayu soko itu lapuk di sawah milik Eyang Surgi. Kemudian daerah itu diberi nama Rowosoko, dari kata Rowo yang berarti sawah dan soko yang berarti pohon soko. Karena perkembangan jamankata Rowosoko diucapkan Rowosuko. Dan pohon Soko itu telah punah. Karena jumlah pohon Soko yang sedikit, kemudian di tebang untuk dijadikan rumah dan kayu bakar. Sehingga pada saat ini tidak ditemukan pohon soko di daerah Rowosuko.
Dusun Rowosuko adalah dusun kecil sehingga menyatu dengan dusun Krengseng dan Rowobelang membentuk satu desa. Karena kelurahannya ada di Rowobelang sehingga di sebut desa Rowobelang.
Bukti adanya Eyang Surgi sebagai penemu dukuh Rowo Suko adalah makam Eyang Surgi yang berada di pemakaman dukuh Rowosuko yang terletak di Rowosuko Kulon.
Menurut adat setempat setiap bulan Dzulkaidah atau legeno, warga desa mengadakan sedekah bumi dan harus diiringi dengan tontonan wayang kulit. Menurut kepercayaan masyarakat, tontonan wayang kulit tersebut untuk menghormati arah Eyang Surgi. Adat istiadat tersebut telah dilakukan turun temurun, hingga saat ini adat istiadat tersebut masih dilkukan oleh warga setempat.
Komentar
Posting Komentar