Langsung ke konten utama

Masjid Aulia Sapuro

                         


Masjid Tertua Di Kota Pekalongan
Agama Islam di pesisir Pantura Pekalongan diperkirakan telah mulai dikenal ratusan tahun atau berabad-abad silam. Hal itu ditandai dengan berdirinya berbagai tempat ibadah seperti Masjid Aulia yang berada di lokasi Pemakaman Umum Kelurahan Sapuro, Kecamatan Pekalongan Barat. Bangunan Masjid ini didirikan pada tahun 1135 Hijriah, yang berarti usia masjid tersebut sudah mencapai 293 tahun. Diduga dari masjid inilah penyebaran agama Islam dilakukan di kawasan Pantura. Benarkah ?

Cuaca Kota Pekalongan yang terletak di pesisir pantai utara Jawa memang tergolomg panas. Tapi begitu memasuki area pemakaman umum Sapuro setempat, dan semilir angin sejuk segera menyapa.
Terlebih jika memasuki Masjid Aulia akan terasa udara lebih sejuk. Karenanya, masjid tersebut sering menjadi tempat hampiran untuk istirahat orang-orang yang kebetulan lewat atau sengaja berziarah ke makam.
Masjid yang mempunyai prasasti bertuliskan huruf arab terbuat dari kayu ada dipean pintu dengan tulisan tahun 1135 Hijriyah yang menandai pendirian masjid tersebut memang slelau ramai dikunjungi peziarah. Tidak hanya peziarah lokal, banyak diantara peziarah yang datang dari luar kota . Sebab, disekitar lokasi tersebut terdapat makan habib atau ulama-ulama besar maupun tokoh kerajaan. Di antaranya , Habib Ahmad Alatas, Pangeran Adipati Aryo Notodirjo yang wafat tahun 1899, Bupati Pasuruan R. Tumenggung Amongnegoro yang wafat tahun 1666 dan beberapa sesepuh lainnya.
Tak heran di sekitar masjid juga terlihat banyak kios yang menjajakan asesoris kas Pekalongan, seperri kain dan busana batik, ada pula tempat tempat penginapan yang dibuka warga setempat.
Sekilas bangunan masjid tampak sederhana. Namun dipenuhi unsur-unsur artistik. Seperti adanya bangunan tembok yang beraksitektur timur tengah dengan tiga pintu besar dari kayu. Sedangkan ruang utamanya mengacu tradisi jawa menggunakan empat soko guru yang semuanya menggunakan kayu jati berukuran besar lengkap dengan ompak penyangga dari batu.
Menurut Kiai Dananir, salah satu pengelola masjid, bangunan masjid yang tergolong tua di Kota Pekalongan itu, penuh dengan nilai-nilai sejarah penyebaran Islam di daerah pesisir pulau Jawa. Seperti terlihat pada kayu-kayu untuk bangunan masjid Aulia yang berasal dari sisa pembangunan Masjid Demak masa Walisonggo.
Kemudian minbar untuk khotbah berornamen ukir-ukiran lengkap dengan trap tangga layaknya masjid-masjid tua, ternyata mimbar itu meruakan hadiah dari kerajaan Demak Bintoro masa Walisonggo. Bahkan terlihat adanya prasasti diatasnya betuliskan tahun 1208 Hijriyah.
Ditambahkan , perjalanan sejarah pembangunan Masjid Aulia diawali dari siar agama Islam dari tokoh ulama Bintara Demak melalui pesisir Pantura, masing-masing Kyai Maksum, Kyai Sulaiman, Kyai Lukman dan Nyai Kudung. “Keempat ulama itu sedianya membangun masjid di sekitar Alas (hutan) Roban (Plelen-Batang). Bahkan pondasinya dan tempat wudlu sudah dibuat. Namun belakangan mereka memperoleh petunjuk jika daerah setempat nantinya tidak ada penghuninya. Sehingga pendirian masjid tidak diteruskan (situsnya masih ada diseputar Alas Roban Batang- red). Merekapun akhirnya menemukan tempat di Sapuro”, ujarnya.
Meski prasasti menyebutkan tahun pendirian masjid, namun tidak ada prasasti yang menyebutkan tentang pembuat masjid tersebut. Kemudian muncul berbagai anggapan bahwa masjid Aulia didirikan oleh syeh dari Hadramaut mengingat tempatnya tidak jauh dari aliran sungai yang dahulu kala sebagai tempat berniaga.
Namun perkembangan selanjutnya terjadi sejak tahun 1924, di mana masjid ditu dikelola oleh Kyai Elyas diteruksan Kyai Abdul Khalil, Kyai Bakri, Kyai Danuri Ibrahim, Kyai Warmidi dan kini dikelola cucunya Kyai Dananir. Karena didirikan olah kaum Aulia, maka Masjid Sapuro ditambah dengan sebutan Masjid Jami Aulia Sapuro.
Tuanya usia masjid inipun dibertahukan ke Pemerintah , Pusat Pengelolaan Museum dan Kepurbakalaan oleh tokoh masyarakat sekitar, yakni Basyari Hambali dan Mochamad Aswantari. Tak pelak jika tim dari Pusat itupun datang dan melakukan peninjauan dan mengakuinya jika Masjid Sapuro salah satu masjid kuno yang ada di Karesidenan Pekalongan.
Namun sayangnya biaya pengeleolaan untuk perawatan secara intens untuk pemeliharaan bangunan kuno tidak ada. Sehingga beberapa bangunan ada perubahan penambahan, meski bangunan inti ditengah masih asli. Hanya teras dan tempat berwudlu yang semula menggunakan bahan bata terakota seperti halnya menara kudus sudah tidak ada lagi, kerana tertutup keramik. Sebelumnya dimasjid ini juga terdapat Al-quran terbesar yang ada di Indonesi. Bahkan Al-quran itu sudah pernah diperkenalkan pada ajang MTQ nasional beberapa tahun lalu
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kamus Bahasa Jawa Dialek Pekalongan

Bahasa Jawa Pekalongan  atau  Dialek Pekalongan  adalah salah satu dari dialek-dialek  Bahasa Jawa  yang dituturkan di pesisir utara tanah Jawa, yaitu daerah  Jawa Tengah  terutama di  Kota Pekalongan  dan  Kabupaten Pekalongan . Dialek Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara daerah  Tegal  (bagian barat),  Weleri  (bagian timur), dan daerah  Pegunungan Kendeng  (bagian selatan). Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang "sederhana" namun "komunikatif". Meskipun ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang  Jogya  atau  Solo , dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti. Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya dialek Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di d

asal usul desa desa di Kajen

KAJEN_ Desa Nyamok_ Nama yang aneh, unik untuk sebuah desa. Sering dikira Nyamuk, padahal penulisan dan pengucapan yang benar adalah NYAMOK, menggunakan huruf “o”. Kenapa diberi nama Nyamok? ada sebuah kisah yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut : Di wilayah Pekalongan bagian selatan ada Bupati bernama Luwuk. Beliau mencintai seorang gadis bernama Dewi Sekar Tanjung. Sang Bupati berkenan untuk melamar sang gadis, dalam perjalanannya Bupati Luwuk melihat hamparan semak-semak yang sangat luas. Dalam bahasa Jawa dikatakan’  nyamut-nyamut’,  setelah didekati ternyata di semak-semak tersebut banyak didapati pohon  “Keyam”  akhirnya tempat tersebut diberi nama “Nyamok”. Kajen_ Dahulu ada dua adipati yaitu :Adipati Wirokusumo bertempat tinggal di Penjarakan ( sekarang Domiyang, Paningggaran ) dan Adipati Wirodanu yang bertempat tinggal di Luwuk ( Pekiringanalit, Kajen ). Kedua hidup rukun meski hidup berjauhan. Dikisahkan, suatu ketika kedua adipati jalan-jalan ke de

Sekilas tentang Wiradesa

SEKILAS TENTANG WIRADESA Wiradesa adalah nama lain dari Desa Ketandan nama wiradesa diambil dari "wira" yang artinya Prajurit dan "Desa" adalah desa. Dahu sebelum dinamakan wiradesa desa ini namanya Ketandan atau Ki-tando nama seorang "tetua" penghuni desa. Dan, diperkirakan setelah desa ini dipakai untuk menampung para prajurit Bahureksa yang hendak diberangkatkan menyerang Batavia banyak yang m enyebut perkampungan Prajurit atau Wiradesa desa di kecamatan Wiradesa, Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia. Di Kecamatan ini banyak pengrajin batik yang dilakukan secara tradisional, baik batik tulis, batik lukis,batik abstrak, batik cap dll. Batik yang terkenal sampai kawasan asia dan timurtengah pun di produksi disini salah satunya yang paling terkenal adalah INDOLOGO BATIK yang terletak di belakang gedung Kopindo yang pemasaranya sampai di Thailand, Singapore , Malaysia hingga ke Arab saudi. Pada jaman dahulu di kelurahan Bener kecamatan Wiradesa ada koperas